MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Sebagai lokomotif gerakan Islam modernis, Muhammad Abduh seringkali diasumsikan sebagai anti-turats. Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah Niki Alma Febriana Fauzi menilai bahwa anggapan semacam ini barangkali wajar bagi sebagian kalangan. Asumsi ini sangat mungkin lahir dari konstruksi berpikir yang selalu menghadapkan secara vis a vis tradisi (tradition) dengan modernitas (modernity).
Menurut Alma, anggapan bahwa ‘Abduh adalah seorang yang anti-tradisi (turats) tampaknya perlu ditinjau ulang. Pasalnya, menurut Ahmed El Shamsy dalam bukunya Rediscovering the Islamic Classics, kutip Alma, mengajukan tesis baru bahwa ‘Abduh sesungguhnya adalah pembaharu yang sangat konsen dalam merawat tradisi intelektual Islam (turats).
“El Shamsy dalam bukunya itu menunjukkan betapa beberapa pembaharu Islam, termasuk ‘Abduh, bukanlah orang yang menolak apa yang diwariskan dari masa lalu. Mereka justru yang membangkitkan kembali khazanah turats Islam dengan mengedit dan mempublikasikan karya-karya ulama klasik,” terang Alma yang disampaikan kepada tim redaksi Muhammadiyah.or.id pada Selasa (03/08).
Konsen ‘Abduh pada turats dapat terbaca dari beberapa aktifismenya, antara lain: pertama, merevitalisasi bahasa Arab. Kualitas bahasa masyarakat Arab, menurut ‘Abduh, tidak akan mengalami kemunduran apabila mereka mau mengkaji turats, karena bahasa dalam turats mengandung kekayaan makna yang mampu mengolah daya kritis.
Kedua, mengajarkan turats pada murid-muridnya. Hal ini ia praktikkan sejak awal karirnya mengajar di al-Azhar tahun 1877. Bahan ajar yang digunakan ‘Abduh untuk murid-muridnya ini selain kitab modern, juga kitab turats berjudul Tahdzib al-Akhlak karya Misykawaih dan kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Selain itu, ‘Abduh turut merekomendasikan kepada sahabat intelektualnya yaitu Rasyid Ridha agar memakai tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari sebagai bahan ajar.
Ketiga, mengedit dan menerbitkan kitab-kitab turats. Manuskrip pertama yang ia edit dan terbitkan adalah karya di bidang sastra linguistik oleh Badi’ al-Zaman al-Hamadhani berjudul Maqamat. Menurut El Shamsy, kutip Alma, dari berbagai versi kitab Maqamat yang terbit dan beredar hingga hari ini, versi editan ‘Abduh-lah yang terbaik. Manuskrip kedua yang diedit ‘Abduh adalah Nahj al-Balaghah, sebuah kitab hasil kompilasi dari ceramah-ceramah yang dinisbatkan pada ‘Ali bin Abi Thalib.
Alma kemudian menyampaikan bahwa Muhammadiyah kiranya perlu mengambil ide-ide ‘Abduh yang memiliki kesadaran tinggi dalam merawat khazanah turats. Tidak hanya pada aspek rasionalitas dan persoalan modernitas saja yang diterima dan diadopsi, tapi dalam persoalan tradisi, terutama tradisi intelektual Islam, Muhammadiyah juga harus mulai merenungi kembali.
“Meskipun ‘Abduh menerima modernitas, bukan berarti ia kemudian mengimitasi dan mengadopsi segala hal yang bersumber dari budaya Barat. Reformasi yang dilakukan oleh ‘Abduh sepenuhnya mengambil spirit dari dalam Islam itu sendiri,” pungkas dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan ini.