MUHAMMADIYAH.OR.ID, AMERIKA SERIKAT—Jelaskan fatwa tentang relasi antar agama yang dikeluarkan otoritas agama Islam mainstream di Indonesia, Prof Muhammad Ali menyebut, nuansa atau benang merah fatwa yang dikeluarkan tersebut ada tiga yaitu mengenai akidah yang dikontruksi dari keimanan, muamalah (relasi sosial), dan tentang hukum yang masih abu-abu.
Terkait dengan akidah, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat ini menjelaskan, di kalangan umat Islam di Indonesia akidah dianggap sebagai fundamental dalam beragama. Meskipun istilah akidah tidak ditemukan dalam Al Qur’an, namun akidah dijadikan sebagai sebuah sistem dalam kepercayaan/keimanan.
“Akidah yang dalam Al Qur’an itu iman yang cukup luas-melebar dan inklusif. Iman itu kan menyangkut segala sesuatu yang diyakini,” ungkap Direktur Program Studi Timur Tengah dan Islam, Universitas California, Riverside pada (3/3)
Ditinjau dari kontkes yang berbeda, iman pada masa Rasulullah atau awal Islam adalah suatu ajaran Islam yang inklusif. Namun dalam konteks masyarakat muslim sekarang, iman menjadi akidah atau sistem kepercayaan yang menjadikannya ekslusif. Sehingga jika sudah menjadi sistem kemudian ada penguatan, maka menghasilkan pendapat bahwa yang berada di luar sistem tersebut maka menjadi suatu yang dihindari.
Menurutnya, yang menjadi keunikan dari adanya fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas agama Islam adalah muslim menjadi satu dan tidak boleh dipisahkan atau tidak boleh devided. Karena adanya sistem akidah kemudian melahirkan pemisahan antara muslim dengan penganut teologi lain. Namun demikian, penganut teologi lain oleh umat muslim kekinian tidak disebut kafir, melainkan non-muslim.
Prof Ali menjelaskan, kata non-muslim adalah konteks bahasa untuk relasi umat muslim di Indonesia. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, fatwa mengalami proses apropriasi dan adaptasi dari bahasa Al Qur’an yang inklusif kepada bahasa fatwa yang cenderung ekslusif. Dalam fatwa, akidah adalah suatu yang fundamental dan tidak boleh ada keraguan dalam berakidah.
Di sisi lain, meskipun dalam perkara akidah fatwa menjadikan seorang muslim harus bertindak ekslusif, namun dalam masalah muamalah atau relasi sosial, etika yang harus dikedepankan oleh seorang muslim harus tetap toleran (tasamuh), adil (‘adl), dan berbuat baik. Fatwa resmi yang dikeluarkan otoitas agama Islam mainstream terkait muamalah hampir semuanya sama.
“Sarjana (intelektual) di Indonesia yang tidak secara langsung berhubungan dengan fatwa resmi itu ada yang berbeda dan beragam,” tuturnya
Poin selanjutnya yang sering dibahas dalam fatwa adalah masalah yang abu-abu, atau persoalan yang masih samar. Ia memberikan contoh kasus tentang boleh tidaknya mengucapkan natal, menghadiri perayaan natal, nikah beda agama, menyekolahkan anak di sekolah non-muslim dan seterusnya. Persoalan ini tidak jelas antara akidah atau muamalah.
“Mereka yang mengedepankan ini masalah akidah atau bahkan ibadah, mereka cenderung mengeluarkan dar’ul mafasid wa muqaddamu ‘ala jalbil masholih (mencegah kemudharatan diutamakan disbanding mengambil manfaat),” urai Prof Muhammad Ali.