oleh : Ilham Ibrahim
Situasi yang tidak jelas kapan akan berakhir pandemi Covid-19 ini telah membuat sebagian orang mulai kelelahan. Banyak di antara kita yang merasa sudah sangat bosan dan cenderung pasrah terhadap keadaan. Bahkan ada orang yang sudah tidak peduli lagi akan terkena Covid-19 atau tidak. Fenomen in tentu saja memprihatinkan. Makanya, aturan pertama dalam melawan wabah adalah terus merawat optimisme.
Islam tidak mengajarkan untuk memandang hidup dengan penuh pesimisme. Sebab, Allah SWT telah melarang orang yang beriman untuk berputus asa dari rahmat-Nya (QS. Yusuf: 87 dan Az-Zumar: 53), ditimpa malapetaka dan musibah (QS. Al-Isra: 83), dan dicabutnya nikmat (QS. Huud : 9). Berdasarkan ayat-ayat ini, putus asa merupakan perbuatan yang dilarang Allah Swt, bahkan mengindikasikan sebuah kekufuran.
Jiwa orang yang optimis adalah jiwa orang yang beriman. Karena keimanan yang dimiliki seseorang mustahil akan berputus asa atau kehilangan arah. Dalam Islam, sikap optimistis ditunjukkan dengan berprasangka baik kepada Allah bahwa dalam setiap kesulitan dan permasalahan terdapat kemudahan dan jalan keluar (QS. Al-Insyirah: 5).
Di antara lafadz al-Quran yang representatif mengarah pada makna optimisme ialah shabara atau kemampuan mengontrol hawa nafsu (QS. Al Baqarah: 155). Bersabar tidak berarti pasif dan menerima kesulitan itu begitu saja, melainkan terus mencari solusi agar terlepas dari kesulitan. Sebagaimana sikap optimis, sabar juga berarti memiliki keteguhan hati, tidak gegabah dalam bertindak, dan senantiasa berpandangan bahwa apa yang terjadi merupakan ketetapan Allah Swt.
Selain shabara, ada pula la tahzan atau jangan bersedih (QS At Taubah: 40). Makna “La Tahzan” menunjukkan bahwa sebenarnya segala hal yang terjadi, termasuk kesedihan dan kesusahan adalah sebagai bentuk agar hamba-Nya kembali kepada Allah. Maka dengan mengetahui bahwa seluruh masalah yang dihadapi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak ada perlu lagi yang disedihkan. Menghilangkan kesedihan akan menambah daya optimisme dalam diri seseorang.
Selanjutnya ada iktisab atau berusaha (QS. An-Nisa’: 32). Sesungguhnya karunia Allah akan datang kepada mereka yang senantiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Dengan ikhtiar kita bisa menambah dan mendorong manusia untuk terus optimistis dalam menggapai suatu tujuan. Meski demikian, betapa pun kuatnya ikhtiar yang dijalankan, jangan sampai melemahkan tawakal kepada Allah SWT.
Dari ketiga kata di atas, optimisme sejalan dengan prinsip-prinsip Islam Wasathiyah. Hal tersebut lantaran Islam mengecam sikap ekstrem di semua dimensi hidup; dalam ibadah ritual, dilarang untuk ghuluw (QS. An-Nisa: 171), untuk muamalah dilarang keras untuk israf (QS. Al-a’raf: 31), bahkan ketika harus berperang, maka tidak boleh ada tindakan-tindakan ekstrem di dalamnya (QS. Al-Baqarah: 190). Konsep-konsep dasar ini menjadi pijakan oleh para ulama sehingga selama 14 abad usianya, ideologi-ideologi ekstrem selalu marginal dan tertolak dalam Islam.
Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat pada ayat Al-Quran tentang Ummatan Wasatha dalam QS al-Baqarah ayat 143. Beberapa aspek penting dari wasathiyah yang sejalan dengan sikap optimistik ialah i’tidal, yakni berperilaku adil dengan tanggung jawab; tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan; syura, mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah.
Dimensi wasathiyah juga mencakup islah yang bermakna terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Upaya islah ini dilakukan dengan memegang prinsip qudwah, yakni merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia. Konsep wasathiyah juga mengakui muwathanah yakni pengakuan pada eksistensi dan kedaulatan negara bangsa, serta posisi sejajar dari semua warga negaranya.
Muhammadiyah sudah wasathiyah baik secara prinsipil maupun parksis. Salah satunya adalah Muhammadiyah menyeimbangkan antara dakwah ila al-khair, upaya mengajak kepada keunggulan dan nahyi munkar atau pencegahan dari kerusakan. Dalam konteks wabah global, Muhammadiyah telah membangun segala fasilitas pencegahan Covid-19, dan tiada henti mendorong masyarakat untuk tetap optimis memutus rantai penyebaran virus.
Langkah yang diambil Muhammadiyah ini sebagai jalan bahwa agama selalu menjadi solusi terhadap problem kehidupan (QS. Al-Anbiya: 107). Ketika corona bukan sekedar penyakit yang menyerang kesehatan manusia, akan tetapi juga menyerang tatanan ekonomi, sosial dan politik seluruh dunia, agama dituntut untuk ikut berperan menghalau laju beragam krisis multidimensi ini.
Islam memerintahkan kita untuk menjaga keselamatan setiap insan, menyelamatkan satu manusia sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32). Karenanya, menyelematkan nyawa manusia dari ancaman pandemi global ini harus dibekali dengan optimis disertai ikhtiar yang bersungguh-sungguh. Sebab Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra‘du: 11).
Hits: 908