MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Fikih ikhtilaf merupakan kajian yang fokus membahas tentang perbedaan pendapat para ulama fikih. Dari berbagai masalah perbedaan ijtihad yang terjadi pada masa Nabi Muhammad hingga sekarang ada hikmah yang dapat dipetik oleh umat Islam. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah DKI Jakarta Muhib Rosyidi mengatakan salah satu hikmah belajar fikih ikhtilaf ialah mengetahui persoalan mana yang disepakati mana yang tidak.
“Hikmah yang pertama itu kita tahu persoalan mana yang disepakati mana yang tidak, meskipun kita nanti harus paham bahwa kesepakatan itu tidak ditentukan pada yang terbanyak. Bisa jadi yang sedikit disepakati yang banyak juga disepakati,” ujar Muhib dalam kajian yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian dan Penerapan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP-AIK) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada Kamis (17/02).
Selain itu, dengan belajar fikih ikhtilaf, seseorang akan mengetahui kemana argumentasi keberagamaan yang dianut dirinya sekaligus muncul sikap berhati-hati dalam agama. Hal tersebut karena dalam mengajukan argumentasi tentang suatu permasalahan, para ulama menggunakan dalil dan dasar hukum yang sama namun di antara mereka kadang berbeda kesimpulan hukumnya. Perbedaan pandangan itu justru memperkaya khazanah intelektual umat Islam untuk saling memahami munculnya perbedaan itu.
“Para ulama jarang mengatakan ‘inilah maksud Allah’ tetapi mereka selalu mengatakan ‘inilah pendapat saya, inilah yang saya pahami’,” ujar dosen Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini.
Belajar fikih ikhtilaf juga akan memunculkan sikap kritik untuk mengkaji agama sekaligus bersikap toleran dalam menghadapi perbedaan pandangan. Muhammadiyah telah banyak belajar tentang fikih ikhtilaf ini. Makanya tidak heran bila salah dua ciri khas dari Manhaj Tarjih itu adalah toleransi dan keterbukaan. Toleransi artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan.
Terakhir, hikmah belajar fikih ikhtilaf akan mengembangkan ilmu fikih. Dengan demikian, dinamika fikih senantiasa berjalan menurut konteks ruang dan waktu, sedemikian rupa mengikuti perubahan. Di lingkungan Muhammadiyah, misalnya, fikih dibangun dengan dua metode, yaitu: metode asumsi integralistik, dan metode asumsi hierarkis. Dari sini, lahirlah beberapa produk keagamaan seperti Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Fikih Tata Kelola, dan lain-lain.