MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Berkenaan dengan pengembangan Program Inklusi ‘Aisyiyah yang mengambil tema “Kepemimpinan Perempuan untuk Peningkatan Akses Kesehatan dan Ekonomi bagi Perempuan Dhuafa Mustadh’afin dengan Pendekatan Inklusif dan Hak Perempuan”, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menggelar Workshop Analisis Kebijakan dan Implementasi Penurunan Perkawinan Anak dalam Perspektif GEDSI. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid via zoom meeting dan luring di Aula Kantor PP ‘Aisyiyah Yogyakarta, Selasa (19/7).
Pada Pengantarnya, Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris PP ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa pada masalah perkawinan Anak Indonesia masih menempati peringkat ke-8 di Dunia. Ini yang menyebabkan angka perkawinan anak masih menjadi perhatian penting dari segala aspek termasuk Pemerintah. Dispensasi perkawinan ini meningkat pada masa covid-19, selain itu masih banyak anak yang melakukan pernikahan siri tanpa pencatatan hukum negara. Alasannya pun beragam dari mulai Kehamilan tidak diinginkan, keinginan untuk menikah muda, dan lainnya.
Tri melanjutkan ketika kita ingin memutus rantai kemiskinan mulailah dari anak remaja perempuan karena angka perkawinan anak akan membawa rantai kemiskinan yang akan terus menerus menjadi masalah bagi kita. Harus terus menerus mengkampanyekan gerakan ini karena masa depan generasi berkualitas tergantung dari apa yang dilakukan hari ini.
“Selain itu, angka kematian ibu muda di Indonesia masih sangat tinggi. Salah satu untuk melihat negara itu sejahtera atau tidak adalah jumlah angka kematian ibu. Kemudian juga berdampak pada angka kematian bayi, akan menjadi lebih banyak kalau kita memiliki remaja yang melahirkan bayi di usia muda,” terang Tri.
Perkawinan di kalangan remaja ini juga menimbulkan masalah lain, yaitu tidak siapnya para remaja ini untuk mendidik anaknya. Akhirnya banyak terjadi anak-anak yang menikah muda kemudian lepas tanggung jawab oleh bayinya, misal tanggung jawab diberikan oleh nenek atau orang tua si anak. Anak yang menikah muda belum menyadari tanggung jawab dan peran baru sebagai orang tua. Masalah lainnya juga masih terjadi seperti kekerasan pada rumah tangga dan meningkatnya angka perceraian.
Gotong Royong Cegah Perkawinan Anak
Maka menurutnya, hal Ini tidak bisa dikerjakan sendiri tapi harus secara kultural bahkan termasuk akses pendidikan. Di beberapa daerah, contohnya daerah perkebunan yang akses pendidikan itu jauh. Anak SD/SMP itu tidak melanjutkan pendidikan karena terus bekerja di perkebunan, kemudian akhirnya setelah bekerja ada laki-laki yang mendekati jadi menikah. Maka perlunya akses untuk sekolah ini menjadi lebih mudah.
Kemudian juga hampir perempuan dan anak-anak remaja tidak mengetahui tentang kesehatan reproduksi, pubertas primer, sekunder, dan menstruasi masih hal yang tabu dibicarakan. “Anak-anak juga masih menjadikan pembicaraan itu sebagai bahan bercandaan, kemudian juga misalnya pengetahuan reproduksi ini hanya diberikan di pelajaran biologi, olahraga dan lainnya padahal tidak semata-mata hanya di pelajaran itu,” imbuh Tri.
Apabila terjadi kehamilan tidak diinginkan juga menjadi dinikahkan anaknya karena kalau tidak akan menjadi pembicaraan di masyarakat, tabu, pandangan tidak laku dan lainnya. Maka di sini peran keluarga, menurut Tri, penting untuk menjadikan rumah menjadi tempat berkomunikasi anak secara terbuka.
Perkawinan anak juga masih terjadi akibat pemahaman agama yang salah ini juga masih menjadi masalah ketika menggunakan Aisyah sebagai alasan dibolehkan menikah muda karena Aisyah menikah pada usia 13 tahun. Maka kita berharap dalam menyelesaikan masalah ini dan membicarakan masalah pencegahan perkawinan anak lebih lanjut.
Komitmen ‘Aisyiyah
“‘Aisyiyah punya komitmen yang tinggi untuk pencegahan perkawinan anak, dengan sudah diterbitkannya buku keluarga sakinah di mana syarat untuk menikah itu harus memenuhi beberapa syarat sesuai dengan tuntunan keluarga sakinah ‘Aisyiyah,” terang Tri.
‘Aisyiyah juga mendorong adanya peraturan-peraturan desa untuk mencegah perkawinan anak. Ini menjadi potensi yang baik untuk mencegah adanya perkawinan anak. Dengan tercegahnya perkawinan anak ini tentu akan menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan generasi ke depan yang berkualitas.
“Semoga langkah-langkah ini menjadi upaya yang baik untuk menurunkan angka perkawinan anak,” harapnya.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber yakni, Perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Rohika Sari, Perwakilan Kementerian Agama RI, dan Fitri Adhecahya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Kabupaten Maros.
Hits: 19