MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIKKA– Akhir-akhir ini ke-Bhineka-an kita sedang banyak mendapat ujian, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dilambungkan dan disulut oleh pihak yang mengingkan terciptanya kegaduhan. Kita harus mengakui retak memang ada, tapi sumber perekat kita masih terlampau banyak.
Terkait dengan perekat ke-Bhineka-an, nampaknya kita perlu belajar dari Muhammadiyah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timiur (NTT). Meski 89,84 persen penduduk Kabupaten Sikka adalah Katolik, tapi peran Muhammadiyah dirasakan dan signifikan, khususnya dalam bidang pendidikan.
Seperti yang disampaikan oleh Harisudin, Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Sikka saat diwawancarai reporter muhammadiyah.or.id pada (10/2). Ia menyebutkan, Muhammadiyah Sikka memiliki lembaga pendidikan yang diperuntukkan bukan hanya bagi masyarakat muslim.
Dikutip dari MA’ARIF Institue tahun 2018, Muhammadiyah Sikka memiliki dua sekolah menengah pertama dengan jumlah siswa sekitar 310 siswa, 70% beragama Katolik. Satu SMA dengan 15% siswanya Katolik. Muhammadiyah Sikka memiliki satu kampus IKIP Muhammadiyah, 2 SMP, 4 MTS, 1 SMA, dan 1 madrasah aliah. Di IKIP Muhammadiyah, sekitar 700 lebih mahasiswa, 82% beragama Katolik dan tenaga pengajarnya 50% ialah Katolik.
“SMA Muhammadiyah Maumere (SMAMMers) itu kan di tengah kota, dan sekarang itu termasuk sekolah SMA swasta favorit. Bahkan kuota murid yang dibuka itu sering over, jadi sering menolak siswa,” imbuh Haris
Ada Cinta di Madrasah Muhammadiyah
Bukan hanya murid, di lembaga pendidikan milik Muhammadiyah Sikka juga memiliki guru yang berlatarbelakang dari agama selain Islam. Selain dari titipan dinas, guru non-muslim yang mengabdi di Muhammadiyah kebanyakan juga dari alumni pendidikan Muhammadiyah.
“Mereka dari SMA Muhammadiyah, lanjut berkuliah di IKIP Muhammadiyah. Nah, akhirnya mereka ngabdi lagi. Hatinya sudah terpaut di Muhammadiyah, jadi ingin mengabdi di Muhammadiyah,” tuturnya
Rasa cinta dan memiliki dari kalangan non-muslim terhadap Muhammadiyah tidak lepas dari excellent servis yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada mereka selama belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah Sikka. Bahkan di Madrasah Tsnawiyah (MTs) Muhammadiyah Wuring, Sikka yang notabene adalah sekolah agama khusus, salah satu gurunya berlatarbelakang agama Katolik.
Maria Deti adalah Guru Bahasa Indonesia yang mengabdi di MTs Muhammadiyah Wuring. Dalam penuturan Haris, Ibu Maria Deti jatuh cinta kepada MTs Muhammadiyah sejak PPL saat menjadi mahasiswa di FKIP Muhammadiyah Kupang tahun 2010.
“Di situ memang membuktikan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan tentang perbedaan, beliau adalah guru satu-satunya di madrasah yang tidak jilbaban,” terus Haris.
Gayung bersambut, usai menyelesaikan pendidikan tingginya, Maria Deti mendapat tawaran dari MTs Muhammadiyah. Meski mengutamakan kader untuk mengabdi di Muhammadiyah, namun di Muhammadiyah juga memiliki azas meritokrasi yang menjadikan peluang bagi Maria Detia turut mengabdi di sekolah Muhammadiyah.
“Saya terima dengan hati berbunga-bunga. Saya tidak pernah canggung untuk beradaptasi dengan kultur dan budaya sekolah. Mereka selalu mengunjungi keluarga saya di Urun Pigang. Hajatan apa saja mereka selalu undang dan saya hadir. Demikian hajatan dari guru dan peserta didik juga saya tidak pernah absen,” ujar Maria Deti
Inklusi, Karakter Pendidikan Muhammadiyah
Lembaga pendidikan Muhammadiyah Sikka bukan hanya menyediakan ruang kelas dan guru mata pelajar umum bagi siswa non-muslim, di sana mereka juga menyediakan guru agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianut oleh murid. Haris menuturkan, pola pendidikan demikian menjadi karakter di lembaga pendidikan Muhammadiyah Sikka.
“Ada karakteristik pendidikan Muhammadiyah yang beda dengan lembaga pendidikan milik agama lain di Sikka. Kalau di sekolah Muhammadiyah kita menyediakan guru Katolik atau guru agama yang mereka anut,” imbuh Haris
Hal ini berkebalikan dengan sekolah-sekolah milik agama lain, sehingga dirinya bersama aktivis Muhammadiyah dan komunitas muslim di Sikka saat ini sedang berusaha menyediakan pendidikan inklusi. Khususnya penyediaan guru agama sesuai dengan keyakinan murid, bahkan jika sekolah yang bersangkutan tidak mampu membiayai guru agama, dirinya bersama komunitas muslim siap membiayai.
Sementara terkait dengan atribut agama yang dikenakan oleh murid dan guru, di sekolah-sekolah milik Muhammadiyah Sikka sudah lama memberlakukan pakain sesuai dengan keyakinan. Meski tidak mengharuskan siswa non-muslim untuk berjilbab, namun sekolah mengarahkan supaya murid untuk memakai rok atau celana panjang.
Saat ini untuk menjaga toleransi (tasamuh) sesama warga bangsa, khususnya di Sikka, dirinya mewakili Pemuda Muhammadiyah bersama pemuda lintas agama menjalin komunikasi intensif sebagai upaya menjaga kesatuan dan merekatkan ke-Bhineka-an. Forum bersama lintas agama ini juga sebagai sarana rekonsiliasi atas peristiwa rusuh SARA yang pernah terjadi di Sikka.
Hits: 22