Bagi masyarakat Indonesia, peci, kopiah atau songkok sangat populer sebagai pelengkap busana kaum muslim. Peci atau kopiah sudah diterima sebagai penutup kepala yang lazim digunakan ketika sholat bagi laki-laki.
Saking populernya, kopiah juga menjadi atribut busana nasional bagi kalangan pria. Di acara-acar formal, pejabat negara tanpa melihat latar belakang agama juga menggunakan songkok atau kopiah.
Bagaimanakah asal-usul peci, songkok atau kopiah? Mengapa jadi busana khas pada tokoh-tokoh pergerakan Indonesia? Bagaimana penggunaan peci, songkok atau kopiah di kalangan warga Muhammadiyah?
Sejarah Songkok di Nusantara
Journal of the Society for Army Historical Research, Issues 297-300 (1996) menyebut songkok sebagai topi tradisional yang jamak dipakai di wilayah dengan diaspora suku Melayu.
Songkok atau kopiah sejatinya sudah dikenal lama oleh masyarakat nusantara dan di dunia Melayu. Meski demikian, songkok atau kopiah yang berbahan beludru sebetulnya juga jamak dipakai oleh masyarakat muslim di wilayah Maroko, Mesir, Asia Selatan hingga muslim di masa Kesultanan Utsmaniyah.
Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times (23/9/2007), menulis bahwa songkok yang dibawa ke Nusantara oleh pedagang muslim telah dipakai masyarakat muslim di Malaya sejak abad ke-13.
Soekarno, Peci dan Identitas Nasional
Songkok menjadi identitas pergerakan nasional setelah kader Muhammadiyah, Soekarno mengawalinya dalam perpisahan dengan Jong Java di Surabaya sebelum dirinya pindah ke Bandung.
Dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat di akhir bulan Juni 1921 itu Soekarno mengusulkan agar peci atau kopiah dipakai sebagai lambang perjuangan menuju Indonesia merdeka. Sebab waktu itu pada umumnya kaum terpelajar merasa terhina jika disuruh memakai peci, yang biasanya dipakai oleh rakyat jelata.
”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka,” demikian kata Soekarno sebagaimana tercatat dalam otobiografi Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams (2018).
Dengan tujuan menunjukkan kesetaraan bangsa Indonesia, songkok hitam yang sebelumnya hanya dipakai beberapa tokoh muslim seperti Agus Salim, Hamka, Natsir dan lainnya, songkok hitam mulai jamak digunakan sebagai simbol perlawanan tidak hanya bagi bangsa Indonesia yang beragama muslim. Termasuk saat Soekarno membacakan pledoi “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.
“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” demikian tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (1996).
Peci bagi Orang Muhammadiyah
Di Muhammadiyah, penggunaan songkok sejatinya tidak menjadi identitas tetap bagi warganya. KH. Ahmad Dahlan dikenal memakai sorban sebagai tutup kepala, sementara tokoh terkemuka Muhammadiyah lainnya seperti Ki Bagus Hadikusumo memakai blangkon.
Dalam berbagai kesempatan, tokoh-tokoh Muhammadiyah juga tidak selalu memakai songkok atau tutup kepala tertentu. Misalnya pada kisah tertembaknya kepala Ki Bagus Hadikusumo dalam perjalanan di kereta api oleh para penjahat ketika dirinya sedang menuju Jakarta untuk menghadiri sidang Parlemen.
Djarnawi Hadikusuma dalam Derita Seorang Pemimpin: Riwayat Hidup, Perjoangan Dan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusuma (1979) mengisahkan akibat tembakan itu sebutir peluru berdiam diri di peci Ki Bagus dan botol minyak wangi di dalam tasnya pecah. Tetapi Ki Bagus sendiri tidak mengalami luka apapun sehingga Soekarno heran ketika menjumpainya di Hotel Des Indes, Jakarta.
“Apa do’anya, Kangmas?” lalu Ki Bagus menjawab “Bahwa do’a itu sendiri tidak mampu meraih kebahagiaan atau menangkis bencana. Do’a hanyalah permohonan, tetapi apabila Allah telah mengabulkan maka tiada seorangpun dapat menolak, dan jika Allah menolak permohonan itu maka tiada seorangpun yang kuasa menolongnya. Semua peristiwa dan nasib manusia telah diatur Allah dengan takdir-Nya”.
Selain Ki Bagus, peci dan songkok juga dipakai oleh para tokoh Muhammadiyah generasi awal seperti Kiai Mas Mansur, Hamka, Rasjidi, dan banyak tokoh lainnya termasuk hingga saat ini.
Berbeda dengan kelompok santri yang tidak dapat dilepaskan dari songkok atau peci, warga Muhammadiyah hanya menggunakan songkok, peci atau kopiah pada acara-acara formal, pengajian atau ketika jadi khotib dan penceramah.
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan AS