MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Muhammadiyah merupakan gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang memahami Islam berdasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah. Tidak terikat dengan aliran teologis, mazhab fikih, dan tariqat sufiyah apapun. Bagi Muhammadiyah, kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan langkah pembebasan dari kungkungan primordialisme mazhab dan taklid yang membelenggu kreativitas berijtihad.
“Ciri Muhammadiyah manhajnya itu adalah tajdid, toleransi, terbuka, tidak bermazhab. Di sini jelas sebagai ciri Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah tidak bermazhab. Kenapa bisa? Muhammadiyah menempatkan Ulama sangat tinggi. Kita bedah kitab-kitab mereka sebagai rujukan. Misalnya, di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), dan pesantren-pesantren Muhammadiyah lainnya,” ujar Ghoffar Ismail dalam Pengajian Tarjih edisi ke-109 pada Rabu (11/11) malam.
Dalam proses penentuan hukum, ulama-ulama mazhab biasanya melakukan ijtihad secara personal. Sementara Muhammadiyah, kata Ghoffar, mengambil langkah ijtihad jama’i. Dalam buku Tanya Jawab Agama jilid II disebutkan bahwa ijtihad jama’I adalah aktivitas ijtihad yang dilakukan secara kolektif, yaitu kelompok ahli hukum Islam yang berusaha untuk mendapatkan hukum sesuatu atau beberapa masalah hukum Islam.
“Ulama mazhab ketika berijtihad secara fard (personal), tapi kalau Muhammadiyah itu adalah jama’i. kita dalam Majelis Tarjih ini memang tidak semuanya hafidz, tidak semua hafal hadis, tapi mereka yang secara bersama-sama ini melakukan ijtihad. Tentu tidak mengatakan lebih baik dari Imam Mazhab, tapi di sisi kekuatan juga perlu diapresiasi karena mereka bersama-sama,” terang dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Ijtihad dengan model seperti ini memungkinkan setiap orang yang memiliki spesialisasi disiplin ilmu di bidang tertentu dapat ikut bergabung merumuskan fatwa hukum Islam. Karena itulah, kata Ghoffar, posisi Imam Mazhab dalam Muhammadiyah sebagai referensi untuk dibaca dan mengambil pandangan mereka yang paling sesuai dengan al-Quran dan al-Sunah sekaligus aplikatif dengan tuntunan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah hanya memposisikan pandangan imam mazhab sebagai option, bukan obligation. Pandangan mereka hanya sebatas pilihan, bukan sebagai keharusan.
“Jika tidak bermazhab, apakah Muhammadiyah mazhab baru? Kalau mazhab dalam arti kelompok lalu memiliki pemikiran yang dikodifikasi dalam buku atau kitab, mungkin bisa dikatakan Muhammadiyah sebagai mazhab. Tapi sebagaimana keterangan Prof. Syamsul dan Prof. Yunahar bahwa Muhammadiyah bukanlah mazhab,” kata Ghoffar.
Ghoffar mengutip pendapat Syamsul Anwar tentang ciri-ciri terbentuknya mazhab, yaitu: memiliki Imam Mazhab, memiliki metode istinbat dan ijtihad, dan memiliki pengikut.
Ghoffar menerangkan Muhammadiyah memiliki seperangkat metode pengambilan hukum yang sering dinamakan dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Selain itu, Muhammadiyah memiliki pengikut yang tersebar di seluruh pelosok dunia. Akan tetapi, kata Ghoffar, Muhammadiyah tidak memiliki sosok imam tunggal sebagaimana dalam struktur mazhab.
“Siapa imam di Muhammadiyah? Apakah otomatis imamnya itu ketua Majelis Tarjih? Kalau memang jadi mazhab, maka harus memiliki Imam Mazhab. Imamnya Ahmad Dahlan? Tapi di Muhammadiyah beliau tidak dikenal sebagai imam melainkan pendiri. Sehingga secara jelas oleh orang Muhammadiyah sendiri dan tokoh-tokohnya, Muhammadiyah bukanlah mazhab,” tambah Ghoffar. (ilham)
Hits: 29407