MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Di tengah era globalisasi, suara-suara tentang etika perdamaian global dan penghargaan terhadap hak asasi manusia rutin digaungkan oleh berbagai bangsa, agama dan tokoh-tokoh dunia.
Akan tetapi, nyatanya tetap terjadi hal-hal yang menciderai etika global dan hak asasi manusia. Terbaru, terjadi peperangan antara Rusia dengan Ukraina. Bagi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, kejadian ini merupakan suatu hal yang ambigu dan paradoks.
“Nah, apa yang kami sampaikan paradoks ketika kami tokoh agama selalu punya agenda tentang perdamaian dunia, menjadi jembatan perdamaian bahkan ketika kami pertemuan di Madrid, Spanyol tentang Peace Without Borders, kita merasakan bahwa di atas kertas, suara moral, suara agama dan perdamaian itu begitu menjadi harapan dunia sebagaimana juga pesan Hans Kung sejak dua dasawarsa lalu tentang global ethics,” kata Haedar.
“Dan ketika kita bikin pertemuan-pertemuan lintas agama, lintas bangsa, lintas negara tentang perdamaian itu, tentu pesan mulianya luar biasa. Tetapi suara-suara itu dan forum-forum itu nyaris tidak bisa menghentikan peristiwa yang selalu terjadi seperti apa yang sekarang terjadi di kawasan Rusia dan Ukraina itu,” imbuhnya.
Dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah bertajuk “Perang Rusia-Ukraina: Mengapa? Bagaimana Sikap Kita?”, Jumat (11/3) Haedar lalu mengenang 12 hari perjalanannya pada Oktober 2018 menghadiri forum dialog para pemimpin dunia dan pemimpin agama di Kazakhstan dan Italia tentang globalisasi dan agama sebagai jembatan perdamaian dunia.
Di tengah agenda tersebut, Haedar ditemani Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini menyempatkan berkunjung ke kota Kiev, Ukraina untuk bertemu dengan komunitas muslim yang berjumlah cukup besar di Ukraina.
“Dari sekilas saja kita merasakan ada aura damai sebagaimana kota-kota di Eropa Timur yang punya warisan dari Bizantium dan Romawi di mana Gereja Ortodoks sangat berpengaruh. Tapi, rasa damai, aura damai itu terasa,” kenang Haedar.
Tokoh Agama Harus Terus Menyuarakan Perdamaian Global
Lebih lanjut, Haedar menyebut pecahnya konflik Rusia-Ukraina membawa paradoks lain tentang gagasan globalisasi dan perdamaian dunia yang kian menguat, namun invasi di berbagai negara seperti Libia, Irak, Suriah dan Timur Tengah terus terjadi. Sementara itu banyak pemimpin bangsa sulit menyatakan sikap untuk konsisten mengawal gagasan globalisasi dan perdamaian dunia.
“Betapa tidak mudahnya kepala negara untuk memposisikan diri untuk menyikapi keadaan ini karena boleh jadi aktor utama kejadian ini adalah pemilik hak veto di PBB yang tentu juga sebagai kekuatan dunia tidak mudah bagi negara-negara lain yang punya posisi di bawah,” ungkap Haedar.
“Yang kita harapkan adalah bagaimana negara juga bisa hadir. Bagaimana lebih dari 200 negara di muka bumi ini, dan untuk apa PBB selalu hadir dengan berbagai macam forumnya jika tidak bisa menghentikan kejadian seperti ini. Apakah reformasi PBB juga diperlukan ketika para pelaku dari fasad fil ardh (kerusakan di muka bumi) ini adalah kekuatan-kekuatan besar yang punya hak veto yang siapapun tidak bisa menghentikannya,” imbuhnya.
Dengan keadaan serba ambigu seperti itu, Haedar berharap tokoh-tokoh agama dunia terus menyuarakan suara moral untuk menentang berbagai hal yang menciderai perdamaian global.
“Ini harus membuka cakrawala baru kita ketika kita ingin mencapai tatanan dunia baru yang lebih damai, saling menghormati, saling menjaga kedaulatan dan martabat antar bangsa dan lain sebagainya jika kita masih punya komitmen bahwa setiap negara ingin hidup membangun peradaban bersama,” pungkas Haedar. (afn)