MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURABAYA — Melihat peristiwa Isra Mi’raj dari kacamata sains modern, Prof. Agus Purwanto menjelaskan, peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa dijelaskan dengan Teori Relativitas Khusus yaitu dengan teori Kecepatan Cahaya, karena jika memakai teori tersebut, rasulullah belum keluar dari sistem tata surya.
Sehingga, untuk menjelaskan peristiwa tersebut bisa mengunakan Teori Relativitas Umum. Berarti mengisyaratkan adanya ruang dengan dimensi tinggi, immaterial atau gaib di sekitar kita.
“Cahaya ini diketahui oleh ilmuan dan diidentifikasi bahwa kecepatan cahaya itu 300.000 km/detik. Sehingga jika cahaya ini melingkar mengelilingi bumi, maka satu detik ini bisa mengelilingi bumi sekitar 6 sampai 7 kali,” ungkapnya pada Kamis (11/3) dalam Pengajian Online Memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Ia meneruskan, Isra sebagai perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Asho dan Mi’raj yang artinya bergerak ke langit ke tujuh (sidratul muntaha). Jika disimplikasi, maka isra’ adalah perjalanan horizontal dan mi’raj adalah perjalanan vertikal.
“Kita asumsikan kejadian mulai bakda salat isya’ atau jam 20.00 sampai jam 4.00 pagi menjelang subuh. Jadi membutuhkan waktu 8 jam, karena perjalannya bolak-balik, maka antara pulang pergi memerlukan waktu yang sama 4 jam,” urainya.
Guru Besar Teori Fisika ITS ini menjelaskan, karena perjalanan dilakukan bersama Buraq, maka dapat diasumsikan bahwa Rasulullah dalam peristiwa itu bergerak dengan kecepatan tertinggi dialamnya, yaitu kecepatan cahaya. Maka dalam satu jam Rasulullah bisa menempuh jarak sampai 4.320.000.000 km.
Sementara, terkait dengan tata surya, ilmuan mengidentifikasi jarak antara Matahari dengan Bumi adalah 149.600.00 km. Sehingga waktu yang diperlukan cahaya dari Matahari ke Bumi itu hanya 8 menit. Prof Agus menerangkan, jika demikian, cahaya yang dirasakan oleh manusia di bumi adalah bukan cahaya yang dipancarkan seketika oleh matahari, melainkan cahaya yang dipancarkan 8 menit sebelumnya.
“Kemudian planet terluar, Neptunus itu diketahui jaraknya 4.335.000.000 km. jadi ini masih lebih besar dari jarak yang ditempuh oleh cahaya selama 4 jam, artinya Baginda Rasulullah dalam waktu 4 jam belum sampai di Neptunus. Ternyata belum sampai keluar dari Tata Surya kita,” ungkapnya.
Jadi menghitung perjalanan Rasulullah dengan teori relativitas khusus tidak memadahi. Selain itu, jika suatu objek bergerak dengan kecepatan cahaya, maka massa nya itu akan meledak. Dengan demikian penjelasan ini tidak memadahi, karena itu harus kita tinggalkan. Prof Agus menyarankan untuk merujuk kepada QS Al Isra’ ayat 1.
“Memperjalankan itu berarti memindah suatu objek dalam hal ini Rasulullah dari satu titik ke titik lain, dari satu dimensi ke dimensi yang lain, ini berarti dimensi ruang. Dan kemudian peristiwa ini terjadi pada malam hari, ini adalah masalah waktu. Ayat tersebut memberi isyarat bahwa, inilah kosmologi Islam, bahwa realitas itu terdiri dari ruang, waktu, materi, dan ruh,” terangnya.
Prof Agus menambahkan, dalam QS Az Zumar ayat 46, dapat diindikasikan bahwa langit ke 7 adalah ghoib atau di luar jagad raya, artinya langit ke tujuh posisinya di luar ruang material. Jadi Mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah adalah masuk ke dimensi yang lebih tinggi ke luar material atau langit ke tujuh untuk menerima perintah salat.
“Ini susah memang kalau mau mengambarkan alam di luar ruang material, tapi kita yakin dan menerima hadis-hadis sahih. Bahwa disekitar majelis takliim kita ini kan ada banyak malaikat lalu lalang, tapi malaikat yang banyak ini berada di luar dimensi kita. Sehingga kita tidak pernah bertabrakan, karena malaikat berada di dimensi yang lebih tinggi dari pada kita. Jadi Rasulullah menghilang masuk ke langit ke tujuh,” urainya.
“Jadi Mi’raj itu menembus dimensi ruang menuju ke dimensi yang lebih tinggi, immaterial atau gaib” pungkasnya.