MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR – Wakil Ketua Lembaga Pembinaan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Safar Natsir menjadi khatib Salat Iduladha 1443 H di Halaman Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Makassar, Sabtu (9/7).
Pada kesempatan itu, Safar mengajak kaum muslimin untuk saling bermuhasabah. Menyinggung soal geliat Islamophobia yang semakin berkurang di negara-negara non muslim, dia justru heran melihat naiknya kecenderungan Islamophobia di negara mayoritas muslim seperti Indonesia.
“Baru-baru ini, kita lihat di Time Square New York, di trotoar jalanannya, dihelat Salat Tarawih berjamaah,” kata Safar takjub.
Sebab, Time Square merupakan salah satu tempat bergengsi di Amerika Serikat dan salah satu tempat paling ramai di dunia.
“Saya sendiri tidak bisa membayangkan, jika di tempat yang seramai dan liberal, sangat menjaga privasi seperti itu, bisa dilakukan salat berjamaah di trotoar, atau tempat pejalan kakinya,” imbuhnya.
Tidak hanya di New York, geliat positif melawan Islamophobia juga nampak di berbagai negara Barat. Safat lalu mengenang perjalanannya saat berada di Jerman. “Pada suatu kesempatan, kalau tidak salah tahun 2010, khatib juga sempat berdiskusi tentang inklusi Islam di sana. Kami jabarkan terkait Islam sebagai agama damai, agama rahmatan lil alamin,” kenangnya.
Saat itu, Safar memaparkan perkembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di daerah-daerah minoritas muslim seperti di Papua, dalam hal ini Jayapura, Sorong, dan Manokwari, NTT, Kupang, dan sekitarnya. Karenanya, Safar mengaku heran kepada segilintir orang Indonesia, terlebih umat Islam sendiri yang masih saja mengidap Islamophobia.
Maka dari itu, Safar mengajak umat Islam Indonesia agar memperbaiki relasi dengan Ilahi dan sesama manusia. Iduladha sebagai momen pengurbanan, upaya mendekatkan diri kepada Allah lewat berbagi, kata Safar sarat makna bagi umat muslim untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang cenderung Islamophobic seperti menyebarkan kebencian dan berpikiran negatif kepada sesama muslim.
Terlebih di era Covid-19 ini, kata dia pemaknaan kurban sangat tepat untuk dikembangkan dalam berbagai kebaikan hidup. Kurban dapat dijadikan sebagai instrumen untuk peduli sesama, kepada pihak yang kekurangan, serta untuk mengembangkan kebersamaan, dalam mengatasi kesulitan di masa pandemi.
“Hendaknya ibadah kurban kita menghilangkan keserakahan dan menebar kebajikan untuk sesama. Memupuk toleransi dan rasa damai. Bersamaan dengan hal itu, hal-hal yang tidak produktif dalam kehidupan bangsa harus segera disudahi,” tegasnya. (afn)
Hits: 19