MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Perhatian terhadap wakaf uang begitu tinggi usai Pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang dan meresmikan Brand Ekonomi Syariah oleh Presiden RI, Senin lalu (25/01). Menariknya, narasi besar yang muncul di kalangan umat adalah keengganan untuk terlibat dalam wakaf uang. Pada pengajian bulanan PP Muhammadiyah, Jumat (12/2) Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI Noor Ahmad menyinggung bahwa keengganan itu utamanya muncul dari kurangnya dukungan fatwa baru dari para ulama.
Terkait fatwa, Majelis Ulama Indonesia sendiri pada 11 Mei Tahun 2002 telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa wakaf uang tunai (waqful nuqud) dihukumi sah atau (jawaz). Peraturan wakaf tunai selanjutnya diperjelas dan diperkuat oleh Peraturan Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI) No. 1 tahun 2009.
Berbeda dengan Noor Ahmad, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim menyebut bahwa keengganan umat bukan pada masalah fatwa, tetapi lebih pada masalah kepercayaan umat terhadap pemerintah akibat berbagai kebijakan yang dinilai kontra produktif terhadap wacana syariat Islam. “Satu sisi narasi untuk pengembangan ekonomi syariah itu bagus, tapi satu sisi narasi politik tidak mendukung. Narasi politiknya menyudutkan. Menyudutkan syariat Islam, ada sebagian oknum yang melakukan seperti itu. Narasi yang seperti misalnya haram meniru pemerintahan Nabi Muhammad, tapi ekonominya diambil, ini nggak bener narasi politiknya. Ini yang membuat kecurigaan dan kekhawatiran umat Islam,” jelasnya.
Buntut Ketegangan dengan Buzzer?
Dalam forum Pengajian Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Ahad (14/2) Fahmi lebih lanjut menjelaskan bahwa pembiaran narasi Islamophobia yang dibiarkan marak di media sosial oleh akun buzzer membuat umat enggan menyambut ajarakan wakaf tunai dari pemerintah.
Padahal, menurutnya wakaf uang jika mampu dioptimalkan dapat membantu masalah ekonomi nasional bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan, termasuk memutus ketergantungan Indonesia dari hutang luar negeri. Umat Islam menurut Fahmi akan cepat membantu program nasional wakaf jika narasi yang berkeliaran di media sosial bersahabat dengan Islam. Umat Islam menurutnya memiliki sensitivitas tinggi untuk membantu siapapun, termasuk meringankan amanah negara meski tidak diminta sebagaimana terlihat dalam krisis bencana alam dan lain sebagainya.
“Jadi narasi-narasi ini yang tidak kondusif, tidak selaras dengan keinginan kita untuk mengembangkan ekonomi Islam. Padahal diharapkan ekonomi Islam seperti instrumen wakaf ini menjadi solusi bagi persoalan-persoalan bangsa Indonesia, persoalan negara kita. Malah yang ada wacana-wacana tentang syariat itu dimusuhi, dijadikan monster, dijadikan apa yang seperti seolah-olah musuh bersama, nah ini kan nggak bener,” keluhnya.
Pemerintah Perlu Ubah Pendekatan
Fahmi Salim menjelaskan bahwa pemerintah perlu mengubah pendekatannya secara lebih lunak dengan menghindari berbagai kebijakan yang tidak mengindahkan perasaan umat muslim sebagaimana pada adanya SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah ataupun kriminalisasi tidak mendasar terhadap praktek ekonomi syariat dinar dan dirham.
“Lah, belinya itu [keping emas] saja kan pakai rupiah. Pemesanan ke ANTAM, artinya kan masih dalam otoritas NKRI. Hanya saja di situ [pasar mu’amalah] mempraktekkan bagaimana sih cara bermuamalah yang dulu dipakai oleh Rasulullah dan para sahabat, di masa Khulafa’ Rasyidin, umat Islam perlu edukasi. Nah saya mengambil peristiwa itu mungkin penggagasnya itu ingin mengedukasi. Bukan lalu menjadikan ini ancaman. Jadi edukasi itu kan penting agar umat ini tahu sejarah, tahu praktek ekonomi tanpa mempertentangkannya,” jelas Fahmi.
“Jadi jangan reaksi daripada pemerintah itu lalu seolah-olah memusuhi atau mengkriminalisasi hal-hal yang seperti itu. Ini yang saya maksud kontra produktif antara membangun narasi ekonomi keumatan dengan narasi politik yang tidak mendukung. Jadi kita harus hati-hati dengan ini semua, kita tentu umat Islam sangat menginginkan ajaran Islam ini dapat menjadi solusi bagi masalah bangsa ini. Kita bantu negara,” imbuhnya.
Pengelolaan Pemerintah Harus Transparan
Selain mengubah pendekatan, Fahmi Salim menyebut bahwa pemerintah Indonesia perlu untuk meyakinkan umat secara luas terkait jaminan amanah pengelolaannya. Dalam pengamatannya, Fahmi mencatat banyaknya kasus korupsi besar seperti BLBI, Jiwasraya hingga korupsi bantuan sosial Covid-19 membuat umat semakin menjauh dari ajakan wakaf tunai pemerintah.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah memiliki modal untuk meneruskan mensukseskan program wakaf uang. Fahmi menyebutkan inisiasi wakaf tunai seratus juta rupiah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Januari 2010 faktanya disambut baik tanpa ada keengganan seperti sekarang. Masa depan wakaf uang di Indonesia menurutnya juga memiliki pijakan yang jelas dengan adanya Badan Wakaf Indonesia. Fahmi secara khusus menampik kecurigaan umat bahwa wakaf uang masuk ke dalam kas negara.
Wakaf uang yang diterima nadzir diinvestasikan melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk, yang kemudian hasilnya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sosial yang sama-sekali tidak melibatkan negara. Umat Islam juga diberi keluasan untuk berwakaf di lembaga zakat ‘plat merah’ (BWI) ataupun ‘plat hitam’ (Lazismu, dll).
Agar program wakaf tunai di atas berjalan sukses, Fahmi berharap BWI mampu menerjemahkan dampak dari pengelolaan wakaf tunai dengan lebih aktif menggandeng lembaga zakat plat hitam dalam penerjemahan kerja-kerja keumatan dan kemanusiaan secara umum.
Dana Wakaf untuk Kepentingan Masyarakat Kelas Bawah
BWI menurutnya juga wajib untuk melakukan advokasi pemberdayaan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Jika hal-hal yang telah disebutkan di atas diperhatikan, Fahmi percaya umat akan berangsung-angsur menyambut ajakan wakaf tunai dari pemerintah.
Jika krisis kepercayaan terhadap pemerintah belum diselesaikan, maka sebaik apa pun gerakan yang dibangun pemerintah menurutnya akan tetap memicu resistensi bahkan makin mempertajam konflik di masyarakat. “Wakaf uang ini tidak perlu dipersoalkan lagi dari sisi legalitas keabsahan hukum syar’inya karena sangat potensial untuk membangun peradaban umat. Yang dikhawatirkan itu keraguan-keraguan umat itu harus dijawab,” pungkasnya.
Editor: Fauzan AS