MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Proses demokrasi di Indonesia masih dalam tahap pematangan konseptual maupun dalam upaya implementasinya di kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak lain karena terjadi ketegangan yang cukup serius antara kelompok yang menginginkan Indonesia sepenuhnya menjadi negara sekuler-liberal, dan di pihak lain ingin mengubah total Indonesia menjadi negara Islam.
Dalam Rapat Senat Terbuka dan Orasi Ilmiah pengukuhan guru besar, Muhammad Azhar menawarkan gagasan Demokrasi Religius sebagai jalan tengah. Baginya, Demokrasi Religius merupakan konsep yang cocok dengan kultur Indonesia yang berwatak nasionalis tetapi juga agamis. Sebab kurang arif bila demokrasi di Indonesia bersifat ekslusif keagamaan, dan kurang bijak juga jika meninggalkan spirit keagamaan yang sudah mengakar sejak lama.
“Religiusitas demokrasi di sini bermakna transendental, yakni adanya nilai-nilai ketuhanan yang inklud dalam demokrasi. Dengan demikian, Demokrasi Religius mengandung pengertian bahwa model demokrasi yang dianut dalam konteks keindonesiaan harus berbasis atau mengakomodasi nilai-nilai transendental agama-agama, jadi tidak hanya satu agama,” terang Azhar pada Sabtu (30/01).
Terdapat 11 poin yang Azhar terangkat terkait dengan panduan umum pemaknaan Demokrasi Religius dalam konteks keindonesiaain, di antaranya: 1) adanya keselarasan antara hak dan restu Tuhan dengan hak manusia; 2) terciptanya masyarakat yang toleran, menghargai pluralitas, tidak truth claim, jauh dari sikap etnosentris-rasis-sektarian, maupun diskriminatif; 3) pentingnya rasionalitas dalam intepretasi teks keagamaan;
4) pentingnya pemisahan agama dan politik, namun jalannya kehidupan politik, secara substansial, dikontrol nilai agama. Sebaliknya, sistem politik yang berlangsung juga harus mengakomodasi nilai agama yang obyektif; 5) objektifikasi nilai-nilai agama yang bersifat adil, benar, dan humanis; 6) memiliki komitmen terhadap konsep keamanan dan kesejahteraan masyarakat; 7) antikekerasan dalam segala perjuangan aspirasi pribadi maupun kelompok;
8) bersikap bebas; 9) mengedepankan substansi keagamaan, bukan formalitas agama; 10) pentingnya konvergensi antara nalar akal dan wahyu atau teks keagamaan secara terus menerus; dan 11) lembaga keagamaan jangan mudah “memanfaatkan”—bahkan mempolitisasi—lembaga tersebut secara terburu-buru menafikan paham yang berbeda, terkecuali jika benar-benar membahayakan keamanan negara.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menyadari bahwa paparannya masih belum sempurna sehingga diperlukan riset lebih lanjut. Bahasan yang patut untuk diperhatikan adalah semakin menurunnya kepercayaan pada konsep demokrasi di berbagai belahan dunia serta dampaknya bagi Indonesia. Harapannya, tawaran Demokrasi Religius dapat dijadikan solusi filosofis-ideologis di masa depan.
Hits: 23