Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mendengarkan musik dan wisata ke candi. Dalam fatwa Tarjih disebutkan jika seni musik membawa pada kemanfaatan maka hukumnya boleh, apabila hanya membuang waktu saja tanpa memberikan faedah maka hukumnya makruh, dan jika keluar dari koridor syari’at agama maka jelas hukumnya haram. Dengan semangat yang sama pula, fatwa Tarjih membolehkan mengunjungi candi, asal tidak mengandung kegiatan yang membawa pada perbuatan syirik.
Dari keterangan fatwa Tarjih di atas, menarik sekali membedah metode istinbath hukum Majelis Tarjih tentang musik dan wisata candi ini. Dalam proses membedah ini, ada tipologi ‘illat (ratio legis) dari tulisan ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof. Syamsul Anwar yang juga dapat dibaca di kitab Usul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah.
Dalam kitab tersebut, Prof. Syamsul menjelaskan tentang mekanisme penemuan hukum berdasarkan metode ta’lili (metode kausasi/qiyas) di bawah judul bab “al-thariqah al-ta’liliyyah”. Lebih lanjut, setelah menjelaskan perdebatan ulama tentang apakah hukum itu mengandung ‘illah (kausa) atau tidak, Prof. Syamsul kemudian mengklasifikasikan metode ta’lili (metode kausasi) ini menjadi dua macam: pertama, al-‘illah al-fa’ilah atau kausa efisien; kedua, al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final.
Dalam penjelasan prof. Syamsul, al-‘illah al-fa’ilah adalah penyebab ditetapkannya suatu ketentuan hukum dan ‘illat ini mendahului penetapan hukum. Contoh, ijab qabul adalah ‘illat sahnya suami istri berhubungan badan. Tindak pidana korupsi adalah ‘illat dari jatuhnya hukum potong tangan. Sedangkan al-‘illah al-gha’iyyah adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Menurut Prof. Syamsul, ‘illat ini terwujud setelah, dan didahului oleh, penetapan hukum.
Contoh, pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, sah tidaknya sebuah perceraian harus ditentukan di pengadilan, tujuannya agar menekan tingkat perceraian dan menghindari kesewenangan talak yang mungkin dijatuhkan oleh suami tanpa alasan yang logis dan sah. Menurut Prof. Syamsul, al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final inilah yang sesungguhnya merupakan Maqashid al-Syarī’ah.
Kalau kita melihat argumen Majelis Tarjih tentang musik dan wisata candi seperti yang sudah disampaikan di atas, maka dapat kita kategorikan pandangan Majelis Tarjih ini termasuk kategori al-‘illah al-gha’iyyah. Dalam hal ini, nampaknya Majelis Tarjih ingin memberikan satu pelajaran penting kepada kita bahwa penetapan hukum jangan dilihat secara monolitik (misalnya hanya dihukumi haram), tetapi harus menyeluruh berdasarkan al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final.
Dengan pembacaan yang seperti ini, kita akan melihat segala objek hukum dengan adil dan proporsional, tidak melulu halal dan juga tidak selalu haram. Sehingga membawa persoalan ini pada kesimpulan bahwa kalau musik dan wisata candi membawa seorang mukallaf pada kesesatan, maka hukumnya haram. Sedangkan jika musik dan wisata candi tersebut membawa seorang muslim pada kemashlahatan, maka mubah.
Hal di atas sama dengan pandangan Majelis Tarjih tentang menggambar, melukis dan membuat patung. Saat sebagian kelompok Islam mengharamkan melukis dan membuat patung, Majelis Tarjih dengan metode pembacaan teks yang menyeluruh (istiqra), aktivitas melukis dan membuat patung dihukumi tiga bentuk tergantung al-‘illah al-gha’iyyah, yaitu bisa haram, makruh, dan mubah. Melukis dan membuat patung dapat menjadi haram manakala disembah, dan dapat menjadi mubah manakala dijadikan media pembelajaran.
Melalui pembacaan seperti ini, kita menghukumi segala sesuatu secara kondisional-kontekstual, bukan dengan cara parsial-tekstual. Penentuan hukum yang bersifat konkret dan praktis agar tidak monolitik harus memakai kerangka al-‘illah al-gha’iyyah. Keterangan ini dapat menjadi tawaran bahwa fikih tidak selalu terpusat pada suatu analisis tekstual belaka dengan model deduksi peraturan-peraturan konkrit dari nas-nas.
Dengan menggunakan al-‘illah al-gha’iyyah ini, pembacaan terhadap teks al-Qur’an dan Hadis dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas (juz’iyyah) dan monolitik, diperluas radius jangkauan liputan pemahamannya menjadi lebih umum (‘ammah) dan universal (‘alamiyyah). Artinya, fikih tidak terlalu fokus pada debat melelahkan seputar halal-haram, tetapi menyusun kerangka kategori-kategori yang bersifat relasional dan kondisional.
Sehingga dengan pemahaman seperti ini Islam tidak harus bersikap kaku, ambigu atau bias. Tetapi menjadi ummatan wasatha yang teguh berparadigma maqashidi dan bahkan bisa sampai menjadi wajah Islam yang rahmatan li al-‘alamīn.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS