MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIDOARJO – Terdapat dua makna tajdid yang dipahami oleh warga Muhammadiyah, yaitu tajdid sebagai pembaharuan di bidang muamalah duniawiyah dan pemurnian atau purifikasi di akidah dan ibadah.
Jati diri sebagai pembaharu yang melekat pada Muhammadiyah tidak serta merta menjadikan organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 1912 ini mengabaikan dan menegasikan semua tradisi dan budaya pendahulu.
Demikian disampaikan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhadjir Effendy dalam acara Tabligh Akbar dan Resepsi Milad ke-111 Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo.
Dalam paparannya, Muhadjir menyampaikan bentuk gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak lepas boleh lepas dari cita-cita pendirinya. Oleh karena itu, pada usia 111 ini Muhadjir mengajak untuk kembali merefleksikan ajaran Kiai Dahlan.
“Jangan-jangan pembaruan Muhammadiyah 111 ini perlu dikembalikan, perlu ditimbang ulang dengan apa yang menjadi cita-cita dan kehendak pendiri Muhammadiyah awal,” Ujarnya pada Ahad (17/12).
Dalam ajaran Islam itu kita harus berpegang pada pendiri awal, bahkan ajaran Islam yang sempurna adalah dari panutan kita semua yaitu Rasulullah SAW beserta para Khulafaur Rasyidin yang telah melestarikan Ajaran Islam agar tidak menyimpang dari praktik Nabi.
Untuk itu diperlukan gerakan tajdid. Namun, tajdid yang dimaksudkan tidak hanya pada sisi pembaharuan saja, tapi juga pemurnian atau purifikasi. Dimana purifikasi ini diartikan sebagai gerakan mengembalikan apa yang sudah menyimpang.
Ia juga menambahkan bahwa terdapat 3 hal yang dirujuk Muhammadiyah dalam tema milad “Ikhtiar Menyelamatkan Semesta,” yakni: Pertama, pandangan Muhammadiyah mengenai gerakan Islam. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid. Ketiga, Muhammadiyah terkait isu multidimensional