MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA– Meski peradaban Barat (Amerika dan Eropa) mengalami trend mundur, namun tidak berarti secara otomatis peradaban Islam menjadi alternatif dan akan maju, serta bisa menggantikannya.
Menurut Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Azyumardi Azra umat Islam masih perlu untuk bekerja keras. Jangan lalu menganggap Islam akan menjadi alternatif menggantikan Barat, jika persoalan internal umat Islam masih belum terselesaikan.
“Kita harus pertama-tama itu menyelesaikan konflik internal, baik di dalam negara muslim atau diantara sesama negara muslim,” ungkapnya pada Senin (18/1) dalam acara Webinar Islam yang Menyejarah yang dipandu oleh David Krisna Alka Intelektual Muda Muhammadiyah.
Meskipun ada program rekonsiliasi diantara mahdzab yang berbeda (taqrib al madzahib) antara Sunni dan Syi’ah namun saat ini tidak jalan, karena ada bumbu politik yang kuat dalam persoalan ini.
Peradaban Tidak Akan Muncul Jika Tidak Ada Pembangunan
Menurutnya, peradaban tidak akan muncul jika tidak ada pembangunan. Pembangunan yang dimaksud adalah ekonomi, sosial, dan pembangunan pendidikan.
Terlebih di negara Timur Tenggah sebagai dengan jumlah umat muslim banyak, namun tingkat pendidikannya rendah, dan yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan karena konflik berkepanjangan.
“Kita harus menata, menyelesaikan masalah kita. Kita harus mulai berhenti untuk menyalahkan orang lain,” tuturnya
Doktor alumni Departemen Sejarah Columbia University ini menyebut, dalam membendung campur tangan pihak luar. Negara muslim harus mampu menyelesaikan pertikaian internalnya, karena pertikaian adalah pintu masuk pihak luar.
Stop Pertikaian Politik Internal Umat Islam
Karena jika pertikaian politik internal sudah selesai, maka bisa diciptakan stabilitas keamanan, sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Stabilitas dalam bidang-bidang tersebut adalah kunci dalam membangun peradaban Islam yang maju.
Selanjutnya, untuk memajukan peradaban Islam harus mengatasi sektarianisme yang menyala-nyala. Saat ini dalam pembacaannya, sektarianisme intra mahdzab “dikipas-kipas” terus.
“Sektarianisme agama, politik, kabilah, kesukuan itu meningkat justru, ini harus diatasi,” imbuhnya
Maka diperlukan intelektual, ulama dan otoritas agama yang memiliki pemikiran besar, luas dan fleksibel tanpa harus mengorbankan ajaran Islam. Tidak mungkin peradaban maju jika perbedaan khilafiyah terus dinyalakan.
Selain itu, dalam memajukan peradaban Islam harus mengembangkan Islam Wasathiyyah. Ia menegaskan umat Islam tidak akan maju, jika yang dipedomani adalah penyelesaian masalah dengan kekerasan.
Namun sebaliknya, umat Islam akan maju jika pendidikan terus dikembangkan, bermutu, berkualitas dan bisa didialogkan. Dengan pengetahuan yang mumpuni diharapkan mampu membangun kembali Kosmopolitanisme Islam.
“Islam dulu maju karena kosmopolitan, sekarang banyak orang Islam kehilangan kosmopolitannya.” imbuhnya.
Secara sederhana kosmopolit artinya mendunia. Tapi sekarang banyak muslim, termasuk yang di Indonesia seperti katak dalam tempurung. Menganggap pemikirannya paling benar, dia tidak melihat ada kebenaran di tempat lain.
Itu juga yang terjadi di Amerika, diantara penyebab kemunduran Amerika adalah kehilangan kosmopolitannya. Orang Amerika tertutup dan menolak orang-orang pintar yang datang dari luar negaranya-migran.
Kunci terakhir memajukan peradaban Islam adalah melakukan kerjasama, baik antara orang dengan orang, universitas dengan universitas dan seterusnya. Kedepan, untuk membuka kran umat Islam yang buntu, dibutuhkan saling ‘ngobrol’ antar peradaban.