Studi kanonisasi hukum Islam masih asing di Indonesia. Istilah kanonisasi berasal dari kata “kanon” (canon) yang berarti “aturan” atau “tongkat pengukur” dalam bahasa Yunani (κανών). Dalam hukum Islam, istilah kanonisasi jarang dipakai. Kita sering menemukannya dalam perdebatan sastra, budaya atau filsafat. Dalam mempelajari kanon dan kanonisasi kita melihat beberapa aspek, salah satunya bagaimana sebuah teks menjadi ukuran kebenaran dan bertahan melintasi zaman dalam suatu komunitas tertentu.
Karena itu, kelahiran kanon tidak berasal dari ruang hampa dan muncul secara tiba-tiba di panggung sejarah. Mulai dari pengkajian, sampai studi kritik atas kanon tersebut. Kemudian ia mendapat status epistemologis yang otoritif dan memiliki kelompok yang mempelajari dan mengamalkannya. Beberapa komunitas memanfaatkan kanon untuk mengawetkan sebuah tradisi. Tradisi yang tidak memiliki kanon biasanya cepat menyusut dan perlahan-lahan menghilang.
Sarjana muslim yang pernah menulis tentang masalah ini adalah Jonathan Brown. Jonathan adalah professor Ilmu Hadis di George Washington University. Dia memperoleh gelar PhD dari Universitas Chicago dengan disertasi berjudul The Canonization of al-Bukhārī and Muslim: The Formation and Function of the Sunnī Ḥadīth Canon (2007). Dalam disertasi tersebut Jonathan ingin mengetahui aspek-aspek apa saja yang membuat Shahih Bukhari dapat menjadi sebuah kitab yang tahan banting melintasi zaman dan mengapa sebagian besar umat Islam menempatkannya sebagai ukuran keshahihan sebuah hadis.
Selain Jonathan, sarjana studi Islam yang tertarik membahas kajian tentang kanon ini adalah Ahmad El-Shamsy. Dia merupakan seorang associate professor dalam bidang pemikiran Islam di Department of Near Eastern Languages and Civilizations di Universitas Chicago. Tahun 2015 El-Shamsy menerbitkan sebuah buku yang berjudul: The Canonization of Islamic Law: A Social and Intellectual History (2013).
Buku tersebut membahas ihwal lahirnya hukum Islam klasik pada rentang abad ke-8 hingga 9 Masehi. El-Shamsy juga menjelaskan bagaimana tradisi normatif yang hidup dalam masyarakat muslim bertransformasi menjadi ilmu hukum yang sistematis. Tokoh sentral yang melakukan transformasi ini adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 820). El-Shamsy dalam bukunya ini ingin menjawab pertanyaan bagaimana kitab al-Risalah karya al-Syafi’I dapat mengubah tradisi normatif yang tercecer secara lisan menjadi sebuah sistem hukum Islam yang canggih.
Dalam diskusi Santri Cendekia Forum yang diselenggarakan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan, Muhammad Rofiq Muzakkir mengulas gagasan sentral kanonisasi hukum Islam terutama yang diusung El-Shamsy. Kandidat Doktor Universitas Arizona ini menjelaskan batasan pembahasan kanonisasi hukum Islam yang dilakukan El-Shamsy ada pada dua sumber, yaitu: al-Quran dan al-Sunah.
Tulisan akan berfokus pada paparan Rofiq melalui buku El-Shamsy terutama terkait perdebatan para ulama klasik tentang definisi dan posisi hirarkis al-Sunah dalam struktur hukum Islam. Singkatnya, bagaimana para ulama klasik mendefinisikan al-Sunah dan mengapa al-Sunah ditempatkan sebagai kanon setelah al-Quran dalam sistematisasi hukum Islam?
Perdebatan Seputar Sunnah
Sejumlah ayat-ayat al-Qur’an secara jelas menunjukkan bahwa sunnah adalah praktek atau perilaku, seperti dalam QS. Al-Anfal ayat 38 dan QS. Al-Hijr ayat 8. Fazlur Rahman (1979) dalam bukunya, Islam, menerangkan bahwa Sunnah mengandung arti tingkah laku yang dilakukan seseorang atau kelompok kemudian menjadi praktek normatif untuk generasi berikutnya. Ketika definisi ini dilekatkan dengan hukum Islam, ia merujuk pada praktek-praktek normatif ideal yang dicontohkan Rasulullah. Meski sepakat bahwa al-Sunah merujuk pada praktek Rasulullah, namun para ulama berbeda pendapat dalam tataran konseptualnya.
Salah satu ulama generasi awal yang menawarkan konsep otentisitas dan otoritas al-Sunah adalah Imam Malik bin Anas. Karyanya yang paling awal yang masih dapat kita temukan pada masa sekarang adalah kitab al-Muwaththa. Menurut Rofiq, pandangan Malik bahwa sunah dianggap otentik dan otoritatif apabila telah menjadi keseharian yang mapan dilakukan ulama-ulama Madinah.
Bagi Malik, penduduk Madinah adalah komunitas yang mempraktekkan (embody), mengabadikan (enshrine), dan terus mengulang-ngulang (repeat) praktek para sahabat yang bersumber kepada Rasulullah. Para sahabat telah melihat perilaku Rasulullah dalam semua keadaan yang kemudian secara eksistensial dipraktekkan secara komunal oleh generasi setelahnya. Joseph Schacht menyebut perilaku ini sebagai living tradition.
Pandangan ini berangkat dari kegelisahan Imam Malik melihat metode istinbath hukum yang dilakukan ulama-ulama Hanafi. Mazhab Hanafi yang merupakan golongan ahl al-ray ini menggunakan dalil masyhur yang mengandung arti umum untuk mengcover berbagai persoalan hukum. Hal tersebut mereka lakukan lantaran pada generasi awal masih dalam tahap pengumpulan hadis. Namun pada intinya, kata Rofiq, Mazhab Hanafi mengabaikan dalil spesifik jika bertentangan dengan dalil umum dan menolak sunah didasarkan pada praktek lokalitas penduduk Madinah lantaran para sahabat Nabi sendiri kadang berbeda pendapat.
Rofiq menjelaskan bahwa bagi Imam Malik, metode istinbath hukum yang dilakukan Mazhab Hanafi mengandung ketidakpastian dan bobot subyektivitasnya terlalu tinggi. Otoritas dan otentisitas sunah, bagi Malik, bersifat apapun yang ditiru (mimetic) dan bukan apa yang ditafsirkan (hermeneutic)—sebagaimana yang biasa dilakukan ulama-ulama Hanafi. Karenanya, definisi dan konsep sunah Rasul yang paling akurat adalah praktek yang mapan di tengah-tengah para ulama Madinah.
Kehadiran Imam al-Syafi’i
Pada abad ke-9 Masehi, kehadiran Imam Syafii melakukan perubahan paradigma terkait term “sunnah.” Namun, sebelum melakukan perombakan, al-Syafii merupakan seorang murid yang pernah membela pemikiran-pemikiran gurunya, yaitu Imam Malik. Saat berkunjung ke Baghdad, misalnya, Imam Syafii berdebat dengan ulama Hanafi semisal al-Syaibani tentang perzinahan antara seorang laki-laki dengan ibu mertuanya.
Menurut al-Syaibani, tindakan perzinahan ini membatalkan pernikahan dengan istrinya. Pandangan ini berangkat dari qiyas batalnya salat ketika berbicara sesuatu yang lain di dalam salat. Akan tetapi menurut Imam al-Syafii, seseorang yang melakukan perbuatan haram tidak lantas membatalkan yang halal. Artinya, perzinahan itu tidak langsung menghapuskan status suami bagi si laki-laki tersebut. Jika ingin konsisten menggunakan qiyas, tegas Syafii, semua salat yang dilakukan setelahnya juga menjadi batal.
Menurut Rofiq, walau Syafi’I ketika berdebat dengan al-Syaibani masih tergolong pengikut Malik, namun dirinya menggunakan kekuatan logika yang menjadi ciri khas Mazhab Hanafi. Inilah yang menjadi keunikan al-Syafii selain memiliki kekuatan hafalan tetapi juga memiliki kemampuan menalar dan memetakan masalah dengan baik.
Kritik al-Syafi’I Terhadap Malik
Setelah di Baghdad, Imam al-Syafii bertolak ke Mesir. Sewaktu di Mesir, Imam al-Syafii mulai melancarkan kritik-kritiknya terhadap pandangan-pandangan Imam Malik. Salah satu masalah yang dikritik Imam al-Syafi’I tentang definisi sunah yang diartikan sebagai praktek ulama-ulama Madinah. Bagi al-Syafii, definisi ini mesti diubah dengan alasan para sahabat Nabi tidak selalu memiliki kesimpulan hukum yang seragam.
Contohnya kasus budak mencuri, apakah tangannya dipotong? Para sahabat berbeda pendapat terkait masalah ini. Menurut Abdullah bin Umar, budak tersebut harus dipotong (pada akhrinya budak tersebut memang dipotong). Akan tetapi, pemotongan tangan budak tersebut tidak bisa dilakukan lantaran harus mendapatkan persetujuan dari penguasa yaitu Said bin Ash (Gubernur Madinah). Sementara itu pendapat Malik menggabungkan pandangan Ibnu Umar dengan Ibnu Ash: tangan budak idealnya harus dipotong, tapi prakteknya mesti dilakukan penguasa dan tidak boleh dilakukan otoritas sipil.
Melihat kasus di atas Imam Syafi’I menilai konsep amal ahl al-Madinah ini sangat potensial dilakukan secara tebang pilih. Sebab penguasa Madinah yaitu Ibnu Ash tidak mengambil pendapat ulama. Sementara itu ulamanya sendiri mengambil pendapat penguasa secara tebang pilih. Hal tersebut bagi al-Syafi’I menunjukkan bahwa konsep Malik tentang amal ahl al-Madinah ini tidak punya standar baku yang jelas karena terdapat perbedaan di antara para sahabat.
Karena itu, bagi al-Syafii, sunnah yang datang dari Rasul dalam bentuk hadis melalui mata rantai rawi (sanad) yang tsiqah merupakan satu sumber hukum, terlepas apakah sunnah tersebut ijma’ atau bukan. Walaupun sunah tersebut merupakan tradisi yang terisolir, jika disampaikan oleh seorang rawi yang adil dan memiliki kekuatan hafalan, serta sanad-nya tersambung langsung dengan Nabi, maka hal tersebut harus diterima dan dapat dijadikan hujjah.
Nampaknya Imam al-Syafii dalam hal ini ingin meluruskan pandangan ulama-ulama sebelumnya. Hadis ahad, bagi al-Syafi’I, dapat dijadikan hujjah sekalipun tidak dipraktekkan sebagian besar penduduk Madinah. Karenanya, sumber utama hukum Islam selain al-Quran adalah hadis yang sanadnya tersambung langsung kepada Rasulullah, sekalipun hadis tersebut secara kuantitas periwayatannya berstatus ahad.
Rofiq melihat perspektif hukum Malik bersifat jama’i (communitarian), sementara teori hukum dan interpretasi teks al-Syafi’i menekankan a radical individualism. Artinya, aspek terpenting menilai otensitas sunah ada pada pemahaman personal seorang fakih. Hadis dapat dipahami tiap-tiap individu jika mengerti teori semantik dalam hukum Islam.
Dari latar belakang ini kemudian Imam Syafi’I menyusun teori-teori Usul Fikih untuk membaca teks. Tulisan Imam Syafii tersebut secara tidak langsung sekaligus untuk menjelaskan alasan hadis ahad dapat dijadikan hujjah. Sebab bagi al-Syafi’I, tidak perlu resepsi masyarakat tertentu untuk memahami tradisi seperti konsep amal ahl al-Madinah-nya Malik, tapi cukup dengan dilalat al-alfaz karena al-Syafi’I sendiri percaya bahwa bahasa bisa menyampaikan makna.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Imam al-Syafi’I adalah menyusun ulang cara mengambil hukum dari yang tradisi organik masyarakat Madinah menjadi ilmu hukum saintifik (legal science) yang bersifat transparan dan memiliki metodologi sistematik. Menurut Rofiq, konsep ini adalah perubahan radikal yang terjadi pada abad kedua Hijriyah. Salah satu implikasinya adalah menonjolnya perang ulama di atas penguasa. Ulama lah satu-satunya penentu hukum karena ia memahami aturan memahami teks, bukan lagi penguasa.
Menurut Rofiq, Imam al-Syafi’I sukses melakukan perubahan pandangan terkait definisi sunah yang sebelumnya masih menjadi ladang perdebatan di antara para ulama. Sebelum adanya koreksi dari Imam al-Syafi’I, posisi hadis dalam strutur hirarkis hukum Islam menjadi tema yang diperselisihkan. Setelah adanya Imam al-Syafi’I, para ulama generasi setelahnya konsisten memberi batasan terhadap “sunnah” sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi, bukan ijtihad atau praktek ulama-ulama regional.
Pelurusan definisi “sunnah” oleh Imam Syafi’i secara tidak langsung mendorong upaya kodifikasi hadis dan menjadikannya sebagai salah satu kanon dalam hukum Islam selain al-Quran.
Teori kanonisasi hukum Islam oleh El-Shamsy telah mendapatkan banyak perhatian sejak pertama kali dipublikasikan beberapa tahun lalu. Banyak orang menganggap El-Shamsy merupakan ilmuwan studi Islam terkemuka yang berhasil menyajikan sejarah perkembangan hukum Islam. El-Shamsy selangkah lebih maju dalam menyajikan analisis dan perpaduan metode yang unik. Bagi pembaca non-muslim, El-Shamsy menawarkan cara yang lebih teliti dalam memahami sejarah pemikiran Islam pada masa awal perkembangannya. Suatu gagasan yang patut disambut intelektual di tanah air.
Editor: Fauzan AS