MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAGELANG—Terkait dengan perkembangan otoritas keagamaan di Indonesia, Akademisi Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka (UHAMKA), Ai Fatimah Nur Fuad menyebut selama dua dekade terakhir mengalami pergeseran dari otoritas lama (old authority) ke otoritas baru (new authority).
Dalam paparannya di acara Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah – ‘Aisyiyah ke-48 yang dilangsungkan pada (23/5) di Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMA), Ai menjelaskan perbedaan mendasar dari otoritas lama dan baru ini pada penguasaan teks-teks keagamaan.
Di mana otoritas lama lebih baik karena memiliki basic pendidikan keagamaan yang jelas. Sementara, otoritas keagamaan baru rata-rata tidak memiliki latar belakang agama formal, mereka lebih banyak belajar otodidak. Otoritas keagamaan baru ini mengalami popularitas didukung dengan kemajuan media. Hal ini menjadi tantangan baru bagi institusi yang sudah lama, termasuk Muhammadiyah.
“Pergeseran ini sejalan dengan munculnya mobilisasi politik berbasis agama atau mobilisasi identitas agama yang sering disebut sebagai populisme,” ungkapnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sampai saat ini di Indonesia, agama menjadi salah satu entitas modal kapital utama yang mampu memobilisasi dan mengumpulkan masa dalam satu praktek-praktek tertentu. Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA ini menyebut, bahwa terjadinya pergeseran otoritas keagamaan di antaranya disebabkan oleh media sosial. Fenomena yang terjadi kekinian, kata Ai, dalam istilah akademik disebut sebagai mentalitas pasar keagamaan di era digital.
Di era keterbukaan informasi, menurutnya individu muslim memiliki kemampuan atau daya untuk memilih dan mengambil wacana keagamaan yang baginya menarik.
“Hanya yang menarik bagi dirinya jadi hanya ide, hanya ideology, hanya theology dan praktek keagamaan yang menarik bagi dirinya yang akan ia klik, ia tonton, ia dengarkan dan ia patuhi. Selebihnya ia akan abaikan karena tidak menarik bagi dirinya,” tuturnya.
Di tengah fenomena sosial masyarakat keagamaan tersebut, Muhammadiyah kata Ai memiliki potensi. Sebab Muhammadiyah termasuk ‘Aisyiyah menjadi dakwah alternatif karena mengusung dakwah moderat atau tidak ekstrim di antara berbagai kecenderungan pemikiran termasuk pergeseran otoritas keagamaan yang terjadi sekarang.
“Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah menjadi alternative gerakan yang sangat dominan orientasi jihadnya atau tipologi jihadis, atau yang sangat ekstrim orientasi politiknya atau tipologi politico, yang sangat ekstrim purifikasinya atau tipologi purist.” Ucapnya.
Hits: 6