MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – 76 tahun usia kemerdekaan Indonesia menyisakan sejumlah beban sejarah yang tidak sepenuhnya tuntas. Salah satunya berkaitan dengan aspirasi hukum syariat dalam pemerintahan.
Bersamaan dengan masuknya arus Islamisme dan paham Islam transnasional akhir era 80-an, luka lama dalam Piagam Jakarta nampak direproduksi dan diungkit kembali oleh sebagian kelompok konservatif sebagai alat untuk memperjuangkan agenda politik mereka.
Akibatnya, tidaklah heran jika kemudian umat Islam sebagai mayoritas, seringkali menjadi pihak yang dipertanyakan komitmennya terhadap bentuk negara bangsa bernama NKRI.
Bahkan umat Islam seringkali menjadi korban dari narasi Islamophobia dari kelompok tidak bertanggungjawab dan objek dari berbagai kebijakan yang kontraproduktif dengan sejarah pengorbanan umat Islam terhadap eksistensi Indonesia itu sendiri.
Integrasi NKRI dan Umat Islam
Melalui gagasan Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, Muhammadiyah menegaskan bahwa konsep negara-bangsa bernama NKRI adalah kesepakatan final dan tidak bisa perdebatkan lagi.
Dalam catatan sejarah, sikap Muhammadiyah dalam menegaskan posisi terhadap NKRI tercatat lewat perjuangan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke-5 (1942-1953) Ki Bagus Hadikusumo yang saat itu menjabat sebagai figur penting di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada Sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945 misalnya, salah satu hal yang menyita perhatian adalah upaya Ki Bagus untuk meminta Ketua Panitia UUD Ir. Soekarno mengubah frasa dalam bagian akhir naskah preambul Pernyataan Kemerdekaan Indonesia.
Sebagai sosok ulama yang teguh memperjuangkan syariat, Ki Bagus meminta naskah yang berbunyi “dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk diperjelas menjadi “berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” atau dihilangkan sama sekali.
Namun, Soekarno yang juga kader Muhammadiyah itu tetap bergeming untuk menerima usulan Ki Bagus yang disampaikan beberapa kali. Keadaan itu membuat anggota BPUPKI lainnya yang juga kader Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakir mendobrak meja sembari mendukung pernyataan Ki Bagus agar potensi mudharat atas kalimat tersebut dipertimbangkan sebaik mungkin.
Tujuan Ki Bagus menyampaikan dua pilihan di atas semata-mata demi menjaga rasa keadilan di antara umat beragama dan menjaga persatuan bangsa Indonesia, selain untuk menghindari kesan yang tidak baik dan menghindari infiltrasi dari agen-agen musuh yang meski pada akhirnya, usulan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, demikian yang tercatat dalam dokumen Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945–22 Agustus 1945 (1995).
Dirasa tidak ada jalan lain untuk meninggikan kedudukan Hukum Islam dalam konsep Negara Indonesia, Ki Bagus akhirnya menerima tujuh kata yang pada awalnya tidak disepakatinya tersebut dan berusaha mempertahankan keputusan bersama itu sekuat mungkin.
Hal itu nampak dalam cobaan berat yang datang kepada bangsa Indonesia sehari setelah proklamasi Kemerdekaan. Dalam otobiografi Mohammad Hatta Memoir (1979), dikisahkan bahwa pada malam hari setelah Proklamasi dan menjelang penetapan UUD oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 ada pihak yang ingin ketetapan bersama itu diubah kembali.
Mohammad Hatta menyatakan bahwa saat itu seorang opsir Angkatan Laut Jepang dari armada wilayah timur Indonesia telah menemuinya dan menyampaikan pesan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik berkeberatan dalam pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Pernyataan tersebut dianggap menusuk hati orang non-muslim meskipun salah satu anggota Panitia Sembilan yang beragama Kristen, AA Maramis tidak merasa demikian dan mengganggap wajar bagi Indonesia yang 90 persen penduduknya adalah umat Islam.
Tidak tanggung-tanggung, wakil-wakil Protesan dan Katolik memberikan ancaman bahwa jika pemerintah tidak menghapus kalimat tersebut, maka wilayah timur akan melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Dalam suasana yang genting itu, kunci utama untuk memperbolehkan tujuh kata yang telah disepakati apakah boleh dihapus atau tidak hanyalah Ki Bagus Hadikusumo. Mendapatkan kabar dari Hatta, Soekarno yang telah memutuskan bagian untuk umat Islam dalam tujuh kata Piagam Jakarta itu malu untuk menyatakan berita ini kepada Ki Bagus.
Soekarno Gagal Melobi Ki Bagus Hadikusumo
Dalam buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982) Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa kala itu Soekarno mengutus Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk menemui Ki Bagus yang pada akhirnya pulang dengan tangan kosong.
Menyusul demikian tokoh Nahdlatul Ulama Kiai Wahid Hasyim pun bernasib sama, yakni gagal merayu Ki Bagus untuk bersedia mengizinkan perubahan kesepakatan.
Kebesaran Hati Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus pada akhirnya luluh setelah kader Muhammadiyah Kasman Singodimedjo datang membujuknya dalam bahasa Jawa halus agar mengizinkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihapus untuk sementara saja.
Soekarno sendiri menjanjikan akan mengakomodir kembali tujuh kata itu dalam sidang MPR pada Februari 1946. Ki Bagus pun seringkali menanyakan akomodasi janji Soekarno kepada Kasman.
Meskipun hingga Ki Bagus wafat pada 4 November 1954, janji tersebut belum terwujud hingga Kasman Singodimedjo menagih secara keras pada Sidang Konstituante 2 Desember 1957, termasuk hingga sebelum Soekarno wafat pada tahun 1970.
Kegagalan mewujudkan janji saat merayu Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata Piagam Jakarta itu bahkan menjadikan perasaan berdosa Kasman Singodimedjo menjelang wafatnya pada 1982.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ucap Kasman sambil menangis di depan anggota Muhammadiyah Lukman Harun, demikian dicatat oleh Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014).
Sikap Negarawan Muhammadiyah, Bukan Fanatisme Golongan
Ki Bagus sebagai salah satu murid terdekat Kiai Ahmad Dahlan layak disebut mewakili sikap Muhammadiyah dalam posisi terhadap negara dan umat Islam.
Nur Hidayat Sardini dalam buku 60 Tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016) menulis bahwa AM Fatwa melihat kerelaan Ki Bagus Hadikusumo dalam menghapus tujuh kata penting tersebut sebagai kebesaran hati demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Namun kiprah Ki Bagus di atas bukan berarti membuat generasi berikutnya teliti dalam mengkaji sosok Ki Bagus Hadikusumo. Hambatan utama justru datang dari pembaca sejarah yang menafsirkan kekukuhan Ki Bagus dalam mempertahankan tujuh kata di dalam Piagam Jakarta adalah sebagai upaya untuk mendirikan negara Islam.
Menanggapi hal tersebut, cucu Ki Bagus Hadikusumo yakni Gunawan Budiyanto memandang bahwa persepsi tersebut sebagai hal yang naif dan menggelitik, demikian ditulis Hendra Kurniawan di harian Bernas pada 13 November 2015.
Gunawan meluruskan bahwa maksud kakeknya mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah sebagai bentuk penekanan pada prinsip agar menjadikan Islam sebagai pedoman etik bagi pemimpin negara tanpa sama sekali ada maksud untuk mendirikan negara Islam.
Umat Islam sebagai konstituen mayoritas dalam Republik Indonesia berhak meminta negara menjadikan pemberlakuan hukum Islam sebagai perhatian utama negara kepada kehidupan keagamaan mereka sendiri, demikian yang dibawa oleh Ki Bagus dalam masa sidang BPUPKI hingga PPKI.
“Ki Bagus berhasil mengawal bangsa Indonesia agar Indonesia tidak menjadi negara teokrasi ataupun negara sekuler,” demikian sebut Muhammad Hisyam dalam Ki Bagus Hadikusumo dan Problem Relasi Agama-Negara (2011).
Naskah: Afandi
Editor: Fauzan AS