Oleh: Zaedi Basiturrozak*
MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Umat Islam seantero dunia menyambut Idulfitri sebagai hari kemenangan. Tidak pandang usia, suku dan ras apapun juga. Mereka semua tak luput dari kegembiraan dan penuh suka cita. Paling tidak sebagai penanda bahwa telah melampaui ujian keimanan selama bulan Ramadan.
Oleh karenanya perayaan disimbolkan dengan segala sesuatu yang baru; busana baru, hubungan baru dan hal-hal baru lainnya. Selama satu bulan umat Islam menjalankan kewajiban puasa sebagai usaha pemenuhan kesempurnaan atas rukun agama yang tidak lain bertujuan agar menjadikannya lebih bertakwa.
Puasa dalam makna yang eksplisit merupakan satu tindakan menahan diri dari makan dan minum serta tindakan keburukan yang dapat menjauhkan manusia dari nilai keimanannya. Itu sebabnya menjadi cukup puasa seseorang ketika mampu melampaui ujian lapar dan dahaga.
Puasa dan Perbaikan Kondisi Mental
Disandingkan dengan makna implisit yang jauh lebih fundamental, puasa sejatinya erat kaitannya dengan persoalan spiritualitas manusia. Sebagaimana kita mafhum bahwa manusia terdiri atas dimensi fisik dan ruhiyah, maka puasa sejatinya merupakan proses mental yang mampu menyegarkan kembali aspek kebatinan seseorang bahkan meningkatkan kadar kualitas hidup dan keimanannya.
Maka kemenangan seorang muslim dalam menjalankan kewajiban puasa adalah ketika muncul perubahan-perubahan sikap dan perilaku yang lebih positif sebagai implikasi atas tertempanya iman. Puasa secara fisik yang sebetulnya hanya mengubah siklus biologi manusia.
Puasa sebagai sebuah proses mental menjadi keniscayaan individu untuk bermetamorfosisis menjadi manusia yang suci kembali. Manusia yang pandangannya mampu menembus tabir dimensi ketuhanan yang sejauh ini terkabut oleh pandangan nafsu dan libido saja.
Meminjam istilah Freud yang terkenal dengan pandangan psikoanalisis bahwa libido inilah yang mendasari gerak perilaku manusia. Libido yang mencakup aspek bukan hanya dorongan seksual saja, lebih luas melingkupi semua aspek energi dari naluri kehidupan yang bersifat fisiologis.
Dorongan inilah yang seringkali mendominasi ruang bawah sadar dalam struktur psikologi manusia yang banyak mempengaruhi perilaku. Secara teori, psikoanalisis menjelaskan mengenai tingkat kesadaran dan ketidaksadaran, yang merupakan kunci untuk memahami perilaku dan masalah kepribadian.
Secara proporsional dapat diilustrasikan dengan fenomena gunung es di mana bagian kecil yang menyembul ke permukaan sebagai dimensi sadar manusia, sementara bagian paling besar gunung es adalah bagian badan yang tidak tampak di permukaan air sebagi dimensi ketidaksadaran manusia.
Ketidaksadaran di dalamnya mengandung unsur pengalaman, kenangan, bahan-bahan yang direpresi (ditekan), kebutuhan dan motivasi yang tidak dapat diakses dan dikontrol.
Teori ini percaya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar wilayah kesadaran. Oleh karena itu, terapi psikoanalitik ditujukan untuk membuat motif tak sadar menjadi disadari, sebab hanya ketika menyadari motif-motif tersebut, seseorang mampu melaksanakan pilihan.
Fungsi Psikologis Puasa pada Seseorang
Oleh karena ruang ketidaksadaran menjadi dorongan terbesar perilaku seseorang dan didalamnya mengandung banyak dimensi nilai, pengalaman, motivasi instingtif dan spiritual, maka perlu sebuah mekanisme yang disengaja agar kekosongan ruang ini dapat diisi dengan sesuatu yang baik sebagai pengisi ruang memori, menyegarkan kembali memori keburukan dengan nilai-nilai kebaikan dan mereorientasi motivasi hidup manusia.
Di sinilah puasa Ramadan dengan seperangkat nilai ajaran yang dikandungnya memiliki signifikansi dalam membantu memenuhi ruang ketidaksadaran manusia.
Puasa sebagai madrasah kepribadian paling tidak mengandung unsur-unsur nilai antara lain; mendidik individu agar selalu tegas dalam menentukan perbuatannya, karena perbuatan buruk secara substansi akan mengggurkan nilai puasa.
Puasa juga mengingatkan manusia untuk selalu dekat dengan Tuhannya dan juga sebagai tujuan akhir hidup, mengajarkan manusia untuk selalu melakukan amalan-amalan yang dapat mendekatkan dengan Sang Khalik, mendidik manusia dalam hal disiplin dan mengajarkan individu dalam bertindak yang berorientasi pada kesejahteraan diri dan lingkungannya.
Sadar atau tidak semua bentuk amalan yang dilakukan manusia ketika menjalankan puasa Ramadan dengan penuh keikhlasan, kegembiraan dan penuh harap menjadi salah satu mekanisme tersendiri dalam me-refresh, reorientasi hidup dalam dimensi ruang bawah sadar manusia.
Di kemudian hari semua pengalaman baik yang terepresi dalam alam bawah sadar akan menjadi sebuah mekanisme yang natural melekat pada diri manusia.
Oleh karenanya perilaku seseorang akan didominasi oleh nilai-nilai yang diajarkan selama puasa Ramadan. Mekanisme psikologi inilah yang menjadi sintesa terhadap relasi puasa dan perilaku manusia.
Kemenangan Sejati
Semua kita yang beriman patut berbangga diri jika telah melampau momentum puasa Ramadan. Namun demikian apakah benar bahwa kita sudah memenangkannya atau hanya sebatas menjalankan ritus keagamaan sebagaimana yang diwariskan sejak masih kecil.
Seberapa dekatkah kita dengan Tuhan dan sejauh mana kita menyandarkan segala aspek hidup; motivasi, sikap, perilaku kita disandarkan atas dasar tujuan ideal sebagaimana Allah ajarkan kepada manusia. Atau jangan-jangan kita juga hanya terjebak pada dimensi ego-spiritual yang hanya mengedepankan aspek formal dan ritus keagamaan semata.
Jika demikian maka hal ini justru menjauhkan kita dari substansi Ramadan itu sendiri. Karena sejatinya ajaran dalam puasa yang terangkum dalam memori alam bawah sadar kita disamping mengandung nilai-nilai ruhiyah juga mengandung nilai universalitas yang berorientasi pada nilai kepuasan diri dan kesejahteraan sesama.
Maka idealnya puasa akan melahirkan pribadi yang tidak hanya tangguh dalam mengamalkan ajaran keagamaan, tetapi mampu menerapkan nilai-nilai ritus agama dalam dimensi nyata kehidupan manusia.
Jika benar kita memenangkan puasa, maka harus muncul indikasi yang mengarah pada perubahan perilaku dan sikap manusia oleh karena terpenuhinya ruang ketidaksadaran dengan semua aspek kebaikan Ramadan.
Mereka yang memenangkan puasa seyogyanya menghindarkan diri dari tindakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisiologis semata. Tetapi keyakinan universalitas Tuhan sebagai tujuan hidup harus mampu menjadi motivasi utama dalam setiap perilaku sosial manusia.
Jika ini terjadi maka lahirlah insan pemenang, yang pantang berperilaku merugikan sesama, pantang untuk korupsi dan memperdaya orang lain hanya kepentingan fisiologisnya semata. Karena secara psikologis orang yang masih mendasarkan perilakunya pada pemenuhan fisiologis saja adalah orang yang belum merdeka dan belum menemukan makna kediriannya.
*Penulis adalah Bendahara Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Editor: Fauzan AS
Hits: 7