MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYARKTA– Fikih secara sederhana dapat dipahami sebagai pemahaman, berbeda dengan syari’ah yang berupa teks dalam Al Qur’an dan Sunnah yang statis, fikih merupakan bentuk pemahaman yang dinamis.
Demikian disampaikan oleh Siti ‘Aisyah, Ketua PP ‘Aisyiyah yang membidangi Majelis Tabligh dan Kader pada (25/3). Ia melanjutkan, fikih dalam bahasa Arab juga bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam pada suatu ilmu, khususnya ilmu agama (ad-din) atau syari’ah.
Terkait dengan Fikih Perempuan, Siti ‘Aisyah menjelaskan bahwa dalam menyebut perempuan Al Qur’an memiliki beberapa istilah. Diantaranya al untsa untuk menyebut perempuan secara biologis atau jenis kelamin, sementara perempuan dalam perannya atau gender, Al Qur’an menyebutnya dengan al mar’ah atau an nisa’.
Berangkat dari istilah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, fikih perempuan merupakan fikih yang membahas tentang kehidupan perempuan. Sementara itu, terkait dengan kekhususan adanya fikih perempuan menurutnya merupakan keniscayaan, menginggat kondisi sosial-budaya yang mendiskreditkan peran perempuan.
“Sampai sekarang pun masih ada kondisi sosial-budaya atau paham yang belum menempatkan perempuan dalam kondisi yang mulia,” ungkapnya
“Penciptaan perempuan itu sama dengan penciptaan laki-laki. Selama ini ada pemahaman diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok, ini kisah termurun dari israiliyat,” imbuhnya
Mengutip Syaikh Muhammad Abduh, hadis yang mengatakan perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok bukanlah benar-benar tulang rusuk. Artinya, penyebutan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok itu hanya metaforis atau kata bukan dengan arti yang sebenarnya.
Paham patriaki tersebut merupakan persoalan yang muncul akibat cara memahami teks atau syari’ah yang hanya dari sudut pandang laki-laki saja. Berbeda dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah, di mana dalam merumuskan fikih, Muhammadiyah memiliki asumsi metode yang salah satunya metodenya hierarkis dan integralistik.
Siti ‘Aisyah menjelaskan, integralistik merupakan asumsi metode merumuskan fikih dengan mengumpulkan teks tematik sesuai dengan pembahasan kemudian diambil pemahamannya. Metode ini sering digunakan ketika menetapkan hal-hal yang sifatnya ubudiyah (ibadah, kehambaa).
Kemudian yang hierarkis terbagi ke dalam tiga tingkatan, pertama adalah al Qiyam al Asasiyah (nilai-nilai dasar/filosofis), kedua ada al Ushul al Kulliyah (prinsip-prinsip umum),dan yang ketiga ada al Ahkam al Far’iyyah (ketentuan hukum praktis).
Hits: 125