MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Para ahli ternama seperti Peacock, Nakamura, Alfian, dan Deliar menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern sekaligus moderat. Kemodernan dan kemoderatan yang menghasilkan jejak kemajuan yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Tidak heran bila Kuntowijoyo menyebut bahwa Muhammadiyah telah melahirkan generasi muslim terpelajar.
“Muhammadiyah telah melahirkan generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya tetapi mampu menjawab tantangan zaman. Dari situlah gerbong generasi pembaharuan dari keluarga besar Muhammadiyah lahir,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara yang diselenggarakan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah pada Rabu (10/11).
Sebagai bagian dari kalangan muslim terpelajar, tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut berperan dalam perumusan dasar negara. Terjadi perdebatan antara kelompok Islam-nasionalis dan kelompok nasionalis-religius. Dalam konteks inilah, wakil Muhammadiyah dan tokoh Islam di BPUPK, Ki Bagoes Hadikoesoemo mengajukan Islam sebagai dasar negara. Hanya saja peletakan Islam sebagai dasar negara mendapat kritikan dari Hatta sebagai bagian dari penganjur nasionalisme.
“Antara tokoh Islam yang nasionalistik dan tokoh nasionalis yang relijius berdebat karena pemikiran-pemikiran mereka maju dan didukung oleh idealisme bernegara dan intelektualitas yang tinggi. Sehingga kalau baca perdebatan itu, penuh dengan pikiran-pikiran yang kaya dan dialogis,” tutur Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Pada akhirnya, ketuhanan menjadi kalimat bersama (kalimatun sawa’) antara kelompok nasionalis-religius dengan Islam-nasionalis. Keduanya berbeda soal posisi Islam dalam dasar negara, namun satu kata soal keharusan ketuhanan sebagai bagian utama dari dasar negara. Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman Singedimedjo, Wahid Hasyim, dan Teuku Hasan sebagai perwakilan dari tokoh-tokoh Islam sepakat mengganti “tujuh kata” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Haedar, peristiwa penghapusan “tujuh kata” merupakan satu bukti bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah memang yang paling siap dan mampu berdialog dengan ragam pemikiran terutama alam pikiran modern, termasuk soal konsep negara. Mereka mafhum bahwa mengutamakan persatuan, apalagi kemerdekaan bangsa sedang di bawah ancaman Sekutu, merupakan jalan paling mashlahat ketika itu.
“Sehingga generasi muslim yang terpelajar yang lahir dari rahim Muhammadiyah memang yang paling siap saat itu untuk memasuki fase baru dunia modern yang telah lebih awal dibawa para tokoh lulusan Barat maupun Hindia Belanda di dalam negeri,” ungkap pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 25 Februari 1958 ini.