Suatu hari teman saya berujar bahwa dirinya bukan Muhammadiyah, NU, atau Wahabi, tapi Islam. Menurutnya, zaman Nabi tidak ada cabang Islam lain. Hanya ada satu. Islam ya Islam. Tanpa embel-embel Berkemajuan, Nusantara, atau moderat. Munculnya nama-nama aliran, organisasi, mazhab, menurutnya terkadang menumbuhkan kecurigaan, rasa tidak senang, bahkan permusuhan. Paling tidak silaturahim menjadi terputus, tegasnya.
Resiko adanya embel-embel setelah “Islam” akan muncul suasana batin yang berlebihan. Nampaknya, teman saya itu tidak senang bila harus terlibat dalam gaduh-gaduh tempur ideologi yang hanya membuat Islam semakin terpecah-pecah. Misalnya, gaduh debat soal qunut salat subuh sampai berbusa-busa tapi malah lupa akar masalahnya adalah mereka yang tidak subuhan. Baginya, mewujudkan ukhuwah Islam adalah dengan meninggalkan embel-embel pada Islam.
Namun, bisakah mewujudkan Islam tanpa embel-embel?
Pada zaman Nabi Saw, Islam berkembang tanpa embel-embel Islam Mekkah atau Islam Madani. Saat sahabat Nabi Saw dalam perjalanan menuju Bani Quraidzah, misalnya, mereka berbeda pendapat. Ada yang memahami perintah Nabi untuk salat Asar di tempat Bani Quraidzah secara literal, ada juga kelompok yang memahami perintah tersebut secara kontekstual. Setibanya di Bani Quraidzah kedua pandangan tersebut diterima dan diapresiasi Nabi Saw.
Saat Nabi Saw masih hidup, perbedaan pandangan di antara umat Islam dapat dikelola dengan baik. Nabi Saw merupakan figur yang memiliki otoritas tertinggi dan pandangannya dihormati semua kalangan umat Islam. Umpama ketika itu ada Islam yang bermacam-macam, seperti yang terjadi sekarang, maka Nabi Saw akan segera mempersatukannya. Karenanya, tidak salah bila menyebut pada zaman Nabi Saw Islam hanya satu. Islam ya Islam saja. Tanpa embel-embel.
Setelah Nabi Saw meninggal, para sahabat berbeda pendapat tentang tampuk kepemimpinan pasca Rasulullah Saw. Dalam pelaksanaan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah itu, para sahabat menemui kesulitan bahkan hampir terjadi perpecahan. Namun pada akhirnya pertemuan politik atau forum musyawarah itu berlangsung hangat, terbuka, dan demokratis. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah lantaran memiliki kapasitas pemahaman agama yang tinggi, kecerdasan, dan sangat dipercaya Rasulullah Saw.
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan khalifah Ali, bahkan perang secara fisik terjadi beberapa kali yang dipicu dari perbedaan pandangan. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal yang terjadi antara Ali dan Aisyah binti Abu Bakar dan Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam paling awal, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murujiah, Qadariyah, Asy’ariyah dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan teologi. Misalnya, kemunculan ragam pandangan tentang di mana Allah, status al-Quran sebagai kalamullah atau makhluk Allah, pelaku dosa besar, takdir, kehendak bebas dan lain-lain.
Setelah aliran-aliran tersebut berkembang, warna Islam pun semakin beragam. Pemahaman Islam tidak lagi satu lantaran adanya perbedaan pemikiran. Misalnya perbedaan pandangan tentang kehendak bebas. Menurut Qadariyah, manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan total dalam menjalani hidupnya. Sementara menurut Jabariyah kebalikannya, manusia tidak memiliki otoritas apapun dalam menentukan nasibnya. Sedangkan menurut Asy’ariah, manusia memiliki kehendas bebas namun Allah telah menetapkan takdir baginya secara rahasia. Ketiga pandangan ini dapat menjadi alat ukur corak keislaman seseorang, apakah ia Islam Qadariyah, Jabariyah, atau Ahlu Sunah wal Jamaah.
Tidak hanya di bidang akidah, semua bidang terjadi perbedaan pandangan. Dalam fikih, antara Syafiyyah dan Hanafiyah berbeda pandangan ihwal istihsan sebagai instrumen dalam instibath hukum. Dalam hadis, para ulama kadang berselisih tentang kriteria hadis Mutawatir. Dalam filsafat, Imam al-Ghazali dan Ibnu Rusyd berdebat tentang alam semesta itu qadim atau hadis. Dalam politik, status Khilafah masih diperdebatkan dan memunculkan variasi pandangan.
Ide mewujudkan Islam tanpa embel-embel merupakan tawaran solusi yang justru menambah persoalan. Seolah-olah pemahaman Islam hanya ada satu versi. Padahal, bagi saya, penambahan embel-embel pada kata Islam pada hakikatnya hanyalah kebutuhan teknis sebagai konsekuensi dari adanya ragam pemikiran. Penambahan embel-embel membuktikan bahwa adanya ragam pandangan dalam memahami Islam. Dalam rangka membedakan antara pemahaman Islam yang satu dengan yang lain, mau tidak mau harus ditambahi embel-embel.
Walau teks al-Quran tak pernah berubah namun pemikiran setiap orang berbeda-beda. Dalam kaidah usul disebutkan, setiap kepala memiliki pandangan (kullu ra’sin ra’yun). Sayangnya, masih ada beberapa kalangan Muslim yang tidak dapat melihatnya sebagai sebuah keniscayaan dari perbedaan interpretasi dan juga tidak dapat mempertimbangkan berbagai dimensi dari sebuah isu. Padahal kalau ditanya di mana Allah, apakah Allah memiliki sifat, benarkah wajib mendirikan kekhilafahan, jawabannya akan menentukan corak keislamannya.
Pada intinya, adanya bermacam-macam aliran pemikiran dalam Islam yang kemudian menjadi sebuah kelompok besar merupakan sunnatullah. Dengan berbagai kelompok itu, maka akan terjadi kompetisi hingga membuahkan dinamika yang diperlukan dalam kehidupan bersama. Yang salah itu kompetisi dalam keburukan, kezaliman, dan kemaksiatan, bukan pada embel-embelnya. Dengan demikian, solusi dalam mewujudkan ukhuwah Islam adalah semua kelompok Islam sama-sama berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat).
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS