MUHAMMADIYAH.OR.ID, SLEMAN – Saat ini kehidupan keumatan dan kebangsaan sedang berada di antara pertarungan pendulum besar pemikiran Islam, yaitu pemikiran konservatif dan liberalis yang keduanya atas nama Islam.
Bahkan tidak hanya konservatif, tapi juga neo konservatif. Termasuk juga di kutub lainnya yang tidak hanya liberalis, tapi juga neoliberalisme dan neo modernis yang cenderung liberal dan sekuler.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, di antara kedua pendulum atau bandul pemikiran tersebut, warga Persyarikatan Muhammadiyah sebenarnya telah memiliki guide yaitu Risalah Islam Berkemajuan (RIB).
Sebagai guide, maka seluruh pimpinan, kader, dan warga, termasuk simpatisan Muhammadiyah diharapkan untuk membaca, memahami, dan mengamalkan isi dari RIB tersebut. Sebab RIB ini berisi pandangan Islam wasathiyah atau Islam tengahan.
Selain membaca RIB, Haedar juga berpesan untuk membaca Al Qur’an. Perintah membaca ini jangan dimaknai secara rigid, melainkan secara luas. Sebab membaca Al Qur’an ini tidak hanya sebatas pada nash, tapi juga tafsir, hadis, bahkan sampai kitab-kitab karya ulama.
Khususnya pimpinan, kata Haedar, ketika bahan bacaannya luas maka akan mempermudah untuk memahami dan memaknai Manhaj Tarjih yang kaya itu dengan perspektif yang juga kaya.
Pesan tersebut disampaikan Haedar supaya pimpinan, kader, sampai warga Muhammadiyah tidak terbuai maupun larut dalam perbincangan di media digital dan media sosial. Menurutnya, mengikuti perbincangan dan isu di media digital menurutnya memiliki dua sisi.
“Dunia digital ini dan sistemnya sebenarnya membantu Muhammadiyah berkembang lebih besar, dan membantu orang-orang Muhammadiyah semakin pandai, semakin dinamis,” ungkapnya.
Di sisi lain, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Perkembangan dunia digital ini juga bisa membuat orang Muhammadiyah stagnan, disebabkan gemar posting dan bermedsos yang hanya menuruti hasrat pribadi dan tenggelam dalam isu-isu yang berkembang secara situasional.
“Di saat yang sama kita tidak pernah move on dari isu-isu itu. Isunya sudah lewat, tapi kita masih terus memproduksi itu. Itu tandanya orang konservatif,” katanya.
Padahal di Muhammadiyah masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, selain membaca juga ada menghasilkan pemikiran, menangani masalah-masalah yang butuh penyelesaian, dan seterusnya.
Sementara itu, terkait dengan hiruk-pikuk isu kebangsaan Haedar menyebut Muhammadiyah memiliki porsi tersendiri – sebab tidak semua isu selalu relevan dengan gerakan Persyarikatan Muhammadiyah.