Nama Ki Bagus Hadikusumo selalu muncul setiap menjelang 1 Juli yang merupakan Hari Lahir Pancasila – Ki Bagus adalah tokoh kunci disepakatinya Pancasila dengan lima sila yang kita tahu saat ini. Ki Bagus juga tercatat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah mulai 1942 sampai 1953, kepemimpinan Muhammadiyah di tengah masa genting pra kemerdekaan dan masa revolusi Indonesia.
Ki Bagus memimpin Muhammadiyah menggantikan Mas Mansur dan digantikan oleh Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Ki Bagus menolak dipilih lagi menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah di usia ke-62 tahun, ketika Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto.
Selain di Muhammadiyah, Ki Bagus juga dikenal sebagai tokoh besar nasional dengan kiprah luar biasa untuk meraih kemerdekaan. Bahkan bukan hanya melalui kecerdasannya, Ki Bagus juga menggerakkan kelompok muslim untuk meraih kemerdekaan Indonesia secara fisik melalui Askar Perang Sabil (APS).
Peran dan kiprah Ki Bagus untuk kemerdekaan Indonesia dibuktikan dengan penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana, sebagai anggota BPUPKI dan PPKI 1945 berdasarkan KepRes RI No. 048/TK/Tahun 1992, tanggal 12 Agustus 1992, juga mendapat penghargaan berupa Bintang Republik Indonesia Utama, sebagai Tokoh Perancang Pembukaan UUD 1945 berdasarkan KepRes RI No. 072/TK/Tahun 1995 tanggal 7 Agustus 1995, dan Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan KepRes RI No. 116/TK/Tahun 2015 tanggal 4 November 2015.
Ki Bagus Sosok yang Sederhana
Afnan Hadikusumo, cucu Ki Bagus melalui Channel YouTube Mojokdotco dalam acara Putcast menyebutkan, Ki Bagus merupakan sosok yang sederhana meski beliau merupakan dari keluarga yang cukup di Kampung Kauman, Yogyakarta. Kesederhanaan itu dibawah oleh Ki Bagus sampai tua, misalnya pasca Indonesia Merdeka, Ki Bagus pernah ditawari mobil oleh Presiden Sukarno namun ditolak dengan alasan sudah terbiasa naik becak – laku sederhana yang khas melekat di tokoh-tokoh Muhammadiyah yang lain.
Padahal Ki Bagus ini merupakan anak dari Raden Haji Lurah Hasyim, seorang Abdi Dalem Keraton Yogyakarta yang bertugas untuk urusan keagamaan di lingkungan keraton – kelas sosial terpandang di kalangan masyarakat waktu itu. Ki Bagus Hadikusumo merupakan anak keempat dari Lurah Hasyim dengan nama kecil Hidayat.
Gunawan Budiyanto (2019) menulis, Ki Bagus memiliki nama kecil Hidayat yang identik dengan kesantrian, yang kemudian berganti menjadi Ki Bagus Hadikusumo sebagai identitas baru seorang santri dari kalangan priyayi Jawa.
Meski masuk golongan priyayi, namun untuk urusan ekonomi Ki Bagus tidak seberuntung itu. Djarnawi Hadikusumo dalam Memimpin Itu Menderita “Riwayat Hidup Ki Bagus Hadikusumo” menceritakan, Ki Bagus adalah seorang ulama, mubalig, sekaligus pemimpin. Meski demikian jabatan-jabatan sosial dan keagamaan itu tidak digunakan oleh Ki Bagus untuk mendulang pundi-pundi ekonomi.
Ki Bagus membuka jalur ekonomi untuk keluarganya melalui berdagang, dia pernah mencoba bidang usaha batik sebagaimana masyarakat Kampung Kauman tapi gagal dan berhenti, lalu membuka toko dan menjadi agen obat produksi Apotek J. Van Gorkom milik orang Belanda yang dikenalnya, tapi toko itupun tidak berlangsung lama. Sempat juga menjual piringan hitam dan gramophone dari toko seorang Belanda H. Muller, namun nasib baik juga belum berpihak padanya.
Menekuni Dunia Kepenulisan
Setelah menjajal berbagai bidang usaha, Ki Bagus kemudian menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya yaitu dunia kepenulisan. Sebelum terjun menjadi pemimpin Muhammadiyah dan ke dunia politik nasional, Ki Bagus merupakan penulis yang bisa dikatakan prolifik di masa itu, khususnya untuk tema-tema tulisan keagamaan.
Untuk memenuhi dahaga literasinya – tidak hanya dari kitab-kitab berbahasa Jawa, mendorong Ki Bagus belajar bahasa asing seperti Bahasa Arab dari guru-gurunya di Kauman, termasuk juga belajar Bahasa Belanda dari beberapa orang Belanda kenalannya dan termasuk Djajasugita, belajar Bahasa Melayu dari Ngabehi Sosrosugondo, dan belajar Bahasa Inggris dari Mirza Wali Ahmad Baig seorang India Muslim yang sempat tinggal di Kampung Kauman.
Kemampuan bahasa tersebut menjadi bekal Ki Bagus untuk merujuk berbagai sumber inspirasi dari kitab-kitab karangannya. Pak Djarnawi menyebutkan kitab dan karangan Ki Bagus hampir semua diterbitkan dalam Bahasa Jawa. Ki Bagus beralasan karena murid-muridnya yang terdiri dari kaum pensiunan, priyayi, dan pegawai negeri meminta kitab-kitab itu ditulis dalam Bahasa Jawa supaya lebih meresap.
Kitab dan karangan Ki Bagus semua diterbitkan semasa penjajahan Belanda, namun ketika masa pendudukan Jepang dan Kemerdekaan tidak ada lagi. Hal itu disebabkan kesibukannya memimpin Muhammadiyah, pikiran dan tenaganya dicurahkan untuk perjuangan kemerdekaan dan pembinaan politik serta negara. Diantara kitab-kitab karangan Ki Bagus yang sudah diterbitkan antara lain:
- Tafsir Juz ‘Amma
- Ruhul Bayan, kitab yang memuat tafsir Surat Al Jumu’ah dan Al Munafiqun.
- Pustaka Iman, kitab yang meriwayatkan sejarh kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad dalam mengembangkan agama tauhid, dan rukun iman, serta enam perkara.
- Katresnan Jati (Cinta Sejati), terdiri dari 3 jilid. Kita ini menjelaskan tentang kewajiban muslim atas orang meninggal, ibadah-ibadah khusus, sampai menyoal tentang amalan-amalan yang tidak sesuai untuk orang meninggal.
- Pustaka Hadi, terdiri 6 jilid. Kitab Pustaka Hadi merupakan tafsir pilihan ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ibadah, dan akhlak.
- Pustaka Islam, merupakan kitab yang menguraikan arti Rukun Islam – tata cara melaksanakan dan hikmahnya.
- Pustaka Ihsan, karangan terakhir yang terbit ini membahas tentang tasawuf dan hikmah amal.
Menurut Djarnawi Hadikusumo, di antara kitab-kitab tersebut yang paling diminati pembaca adalah Pustaka Iman, Katresnan Jati, dan Pustaka Ihsan. Kitab Pustaka Ihsan ini menurut para pembaca dapat memberikan ketenangan dan amat mengesankan. Selain tujuh kitab karangan Ki Bagus yang sudah terbit, sebenarnya ada beberapa yang belum sempat diterbitkan yaitu Tafsir Surat Al Ikhlas.