MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—QS. Al Baqarah ayat 185 menegaskan bahwa kewajiban berpuasa itu pada bulan Ramadan. Lantas, bagaimana cara mengetahui masuknya bulan Ramadan untuk memulai ibadah puasa? Dalam QS. Al Baqarah ayat 185 tidak menyebutkan bagaimana cara menentukan awal bulan Kamariah.
Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Aly Aulia, penegasan mengenai hal tersebut termaktub dalam Hadis Nabi Saw: “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Jika hilal terhalang oleh awan, maka estimasikanlah. ” (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, penentuan masuknya Ramadan dan Syawal adalah melakukan rukyat. Itulah mengapa kebanyakan kaum muslim berpegang kepada metode ini dalam penentuan awal bulan-bulan ibadah.
Namun, ujar Aly, zaman sekarang dimana keberadaan umat Islam tersebar seantero bumi, penggunaan rukyat menyisakan ragam persoalan. Misalnya, kaveran rukyat terbatas di muka bumi pada hari pertama visibilitas hilal.
“Kawasan dunia yang terletak pada lintang tinggi di mana siang pada musim panas dan malam pada musim dingin lebih dari 24 jam, tidak dapat melakukan rukyat secara normal dan hilal akan terlihat terlambat, yakni ketika usia bulan sebenarnya sudah lebih tua,” ucap Aly dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (07/09).
Sangat mustahil manajemen waktu tersusun dari rukyat karena tidak bisa memberikan kepastian tanggal jauh ke depan. Penggunaan rukyat juga dapat mengakibatkan orang yang bepergian lintas negara dalam bulan Ramadan dan mengakhiri Ramadan di negara tujuan hanya berpuasa 28 hari. Serta yang paling penting, rukyat tidak bisa menyatukan jatuhnya Hari Arafah.
“Keterbatasan kaveran rukyat di muka bumi menyebabkan berbedanya Hari Arafah. Padahal, Hari Arafah adalah hari ibadah yang waktu pelaksanaannya terkait dengan peristiwa wukuf di Arafah,” tutur Direktur Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta ini.