MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Suatu dalil teks terkadang memiliki “dalalah” (signifikasi) yang sudah jelas dan dapat ditangkap. Menurut Syamsul Anwar, nash yang sudah jelas terbagi menjadi empat bagian, yaitu: dalalah al-ibarah (tersurat), dalalah al-isyarah (implisif), dalalah al-iqtidha (sisipan), dan dalalah al-dalalah (analog).
Menurutnya, contoh dalalah al-ibarah atau teks yang langsung tersurat maknanya ialah hadis tentang tarawih 11 rakaat. Hadis tersebut berbunyi: Bagaimana salatnya Rasulullah saw di bulan Ramadan? Aisyiyah menjawab: Tidaklah Rasulullah saw menambah baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat maka janganlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau salat empat rakaat, maka janganlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau mengerjakan salat tiga rakaat (HR al-Bukhari).
“Dalalah al-ibarah secara sederhana makna yang terkandung secara langsung disebutkan dalam sebuah teks baik itu ayat Quran maupun hadis. Jadi norma yang kita pahami, pesan yang kita peroleh atau hukum yang kita pegangi langsung disebutkan secara tersurat dalam teks tersebut,” ujar Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini dalam Pangajian Tarjih pada Rabu (09/03).
Sedangkan dalalah al-isyarah adalah suatu dalalah yang didapat bukan dari makna harfiahnya melainkan dari ungkapan tersirat. Jadi, dalalah al-israyah itu maknanya bukan dari apa yang tertulis di dalam teks, melainkan konsekuensi dari yang teks tertulis. Sehingga untuk mengetahui maksud teks, bukan hanya dari apa yang tersurat, namun juga membutuhkan analisa lebih mendalam agar mendapatkan makna yang tersirat.
“Norma-norma agama di dalam Al-Quran dan Hadis tidak hanya kita angkat atau simpulkan dari apa yang tersurat atau dalalah al ibarah tetapi juga mengangkat makna-makna atau norma-norma yang dapat kita pahami dari dalalah al-isyarah,” tutur Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Misalnya, Iwan ingin pergi ke rumah Andi, namun ada sebuah informasi yang menyatakan bahwa Andi pergi ke Jakarta. Makna tersurat atau dalalah al-ibarah dari info tersebut ialah Andi berada di Jakarta, sedangkan dalalah al-isyarah dari info tersebut ialah Andi sedang tidak berada di rumah. Konsekuensinya, Iwan tidak jadi ke rumah Andi. Contoh lain dari QS. ar-Rahman ayat 5: “Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan.”; dan QS. Yunus ayat 5: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa matahari dan bulan memiliki sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta dan peredarannya itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran matahari dan bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi kosong, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum. Majelis Tarjih menganggap kedua ayat di atas merupakan perintah menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan Kamariah.
“Majelis Tarjih memahami kedua ayat tersebut merupakan pesan perintah untuk melakukan perhitungan, sebab kalau sekadar menginformasikan bahwa gerak benda langit seperti matahari dan bulan dapat dihitung, itu informasi yang tidak begitu penting, tanpa diinformasikan pun kita tahu. Namun dengan penalaran dalalah al-isyarah kita dapati makna bahwa kita harus menggunakan akal untuk menghitungnya (matahari dan bulan),” ujar Syamsul.