MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Muhammadiyah-’Aisyiyah, Universitas Al Azhar, dan Faith to Action Network (F2A) akan menggelar Konferensi Global Hak-hak Perempuan dalam Islam di Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta 14 sampai 16 Mei 2024 akan membahas enam isu.
Keenam isu itu sebagaimana yang disampaikan oleh Sekretaris Lembaga Pengembangan dan Penelitian Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (LPPA), Prof. Alimatul Qibtiyah dalam Konferensi Pers pada Senin (13/5) di Unisa Yogyakarta.
Isu yang pertama adalah kesetaraan gender. Kedua, partisipasi perempuan dalam kehidupan pribadi, publik, dan politik di dalam Islam. Ketiga, kekerasan seksual berbasis gender serta kekerasan di dalam rumah tangga.
Keempat, hak memiliki harta bagi perempuan di dalam Islam. Kelima, hak asuh anak dalam hukum Islam. Dan yang keenam adalah hak perempuan atas integritas tubuh dalam Islam.
Tentang hak-hak perempuan, Prof. Alim mengatakan, hak perempuan dalam Islam dijamin langsung sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci Al Qur’an. Kemuliaan didapatkan oleh manusia bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan dari sisi ketakwaan – laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai pemimpin di bumi.
“Perempuan juga sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas apapun. Artinya di mata agama, di mata Allah tidak ada perbedaan tanggung jawab dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas individu dan menjadi bermanfaat,” katanya.
Meskipun landasan normatif yang diberikan Agama Islam telah gamblang, pada realitanya tidak sedikit perempuan yang mengalami penghilangan hak. Bahkan tidak mereka kerap menjadi penderita, termasuk oleh orang-orang terdekatnya.
Mengungkapkan data dari KemenPPPA, Prof. Alim menyebutkan pada 2024 tercatat lebih dari 6.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. Lebih menyedihkan lagi, sebanyak 9 persen kasus kekerasan yang dialami perempuan ini dilakukan oleh orang atau institusi yang seharusnya menjadi pelindung dia.
Oleh karena itu, Prof. Alim mengajak kepada semua untuk saling berkolaborasi melakukan advokasi dalam pemenuhan hak-hak bagi perempuan. Terlebih di Indonesia sebagai negara mayoritas penduduknya muslim, maka landasan normatif Al Qur’an harus bisa diimplementasikan.