MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Salah satu dari lima virus yang ditengarai sebagai unsur yang pelan-pelan mengikis identitas nasional para pelajar Indonesia dari jati diri bangsa adalah agnostisisme.
Virus ini ditengarai sebagai bentuk laten dari cara pandang dan kebijakan yang berusaha menjauhkan siswa dari nilai-nilai ketuhanan dan agama. Sebab agnostisisme merupakan sebuah pandangan yang mengatakan bahwa kebenaran tertinggi tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui.
Dalam Pengajian Tarjih edisi ke-166, Ustadi Hamsah menerangkan bahwa fenomena ini pertama muncul pada abad ke-19 di Eropa. Istilah “agnostik” diperkenalkan secara mendasar oleh Thomas H. Huxley (1869). Dalam pandangan Huxley, agnostik adalah cara pandang baru untuk mengkritisi cara pandang kekristenan (teologis/mistik). Munculnya fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat Eropa waktu itu yang berpijak pada argumen empiris atau rasional.
“Agnostisisme merupakan cara pandang baru di Eropa yang merespon cara pandang gnostisisme di kalangan umat Kristiani. Sederhananya, agnostisisme bisa dianggap sebagai metode berpikir yang rasional berdasarkan bukti,” ujar Ustadi pada Rabu (16/03).
Menurut Ustadi, agnostik berbeda dengan ateis. Meski sama-sama meragukan adanya konsep Ilahi, namun perbedaannya ialah ateis telah sepenuhnya tidak mempercayai adanya Tuhan, sementara agnostik tidak terlalu peduli apakah Tuhan itu ada atau tidak. Dengan kata lain, seorang agnostik akan menangguhkan penilaian tentang masalah-masalah metafisik dan teologis terutama pertanyaan abadi tentang apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Lebih lanjut, Ustadi mengutip pernyataan seorang pemikir abad ke-20 Bertrand Russel yang mengatakan bahwa bagi seorang agnostik, mustahil untuk mengetahui kebenaran yang diajarkan oleh agama-agama seperti kebenaran tentang Tuhan dan hari akhir. Kalaupun bukan mustahil, kata Russel, setidaknya tidak mungkin untuk saat ini (at least impossible at the present time).
Ustadi menyebut tiga akar munculnya agnostisisme, di antaranya: pertama, modernisme. Kemajuan pada abad modern sebagai hasil dari rasionalitas menciptakan pandangan yang cenderung menilai agama sebagai sesuatu yang menghambat zaman.
Modernisme juga mendorong manusia untuk berpikir bahwa Tuhan harus bisa dijelaskan secara rasional. Karena tak mampu dijangkau akal pikiran, akhirnya Tuhan diabaikan. Kedua, motivasi keagamaan. Sebagai turunan dari konsep Tuhan, agonistisisme juga menolak dogma dan indoktrinasi dalam agama. Penyebab umumnya berasal dari kombinasi doktrin-doktrin agama yang diterima, kemudian dievaluasi dengan membandingkannya melalui temuan-temuan filsafat dan sains.
Di sisi lain, lingkungan sosial dan hipokrisi insitusi keagamaan terkadang menjadi pemicu seseorang memutuskan jadi seorang agnostik. Ketiga, cara berpikir yang instan. Karena seorang agnostik tidak mempedulikan apakah Tuhan ada atau tidak, akhirnya dalam memandang doktrin agama, mereka cenderung memiliki kesimpulan tanpa premis atau premis yang tidak relevan. Maksudnya, mereka tak mau repot-repot membangun premis mengapa mereka “diadakan” atau siapa yang “mengadakan”, namun langsung berkesimpulan bahwa Tuhan dan agama tidak penting bagi kehidupan.
“Inilah gambaran umum tentang agnostik dan ini merebah di kalangan generasi muda. Keraguan tentang keberadaan Tuhan itu akan berimplikasi pada sikap hidup yang tidak berdasar pada dorongan ketuhanan,” ujar Ustadi.