MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Untuk menata ulang partisipasi, meritokrasi dan representasi masyarakat dalam sistem pemilu, Wakil Dekan Fisipol UMY, Ridho Al-Hamdi menilai sistem proporsional terbuka (OLPR) lebih relevan dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup (CLPR).
Sistem CLPR (close list proportional representation) pernah dipakai Indonesia pada pemilu 1999-2004. Sedangkan sistem OLPR (open list proportional representation) dipakai Indonesia pada pemilu 2009 hingga sekarang.
Dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rabu (16/3), Ridho menilai kecocokan OLPR dibandingkan dengan CLPR ada pada sisi kualitas demokrasi.
Apalagi dalam indeks demokrasi EIU 2020 dan 2021, tiga negara terbaik dalam kualitas demokrasi (Norwegia, Islandia, Swedia) memakai sistem OLPR.
Di lain hal meski keduanya tetap memiliki celah bagi permainan politik uang, tetapi sistem OLPR memiliki transparansi lebih sehingga kontrol publik lebih besar.
Dalam CLPR, politik uang berjalan di kalangan elit partai (tersentralisir), sementara di sistem OLPR politik uang berjalan di tingkat non elit (terdesentralisir).
“Perilaku politik uang sebagai kasus terpopuler disebabkan UU Pemilu lemah. Misalnya karena lemahnya pembatasan pelaku politik uang, tidak ada perlindungan pelapor dan saksi, dan SentraGakkumdu belum optimal,” ungkap Ridho.
Karena itu, Ridho menganggap sistem OLPR cenderung lebih cocok bagi Indonesia yang multi kultur. Selain itu, dia berharap ke depan sistem OLPR didukung oleh pemanfaatan teknologi agar praktik politik uang tidak terjadi. Penyederhanaan surat suara juga diperlukan sebagai salah satu perbaikan sistem pemilu.
“Sistem OLPR cenderung lebih relevan dibanding CLPR untuk model representasi dengan segala kekurangannya, kedua aspek di atas terkait dengan konsep meritokrasi,” pungkas Ridho. (afn)