MUHAMMADIYAH.OR.ID, PERLIS — Setelah menelaah manfaat dan mudarat rokok, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berkesimpulan bahwa merokok secara syariah Islam masuk dalam kategori haram. Hal ini juga sesuai dengan keputusan Jabatan Mufti Negeri Perlis Malaysia, sebagaimana yang disampaikan oleh Basri bin Ibrahim.
“Di Jabatan Mufti Negeri Perlis Malaysia, kita juga memutuskan bahwa merokok itu haram kerana melihat dari mayoritas pendapat para ulama dan kemudharatan yang ditimbulkan oleh merokok itu dalam konteks sekarang, ini diperkuat oleh para pakar di bidang kesehatan,” ungkap pensyarah Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA) ini dalam diskusi antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Jabatan Mufti Negeri Perlis Malaysia pada Senin (11/10).
Basri mengatakan bahwa fatwa ulama yang telah berusia 200 tahun, tidak bisa secara langsung dipakai untuk menjawab tantangan kontemporer hari ini. Ijtihad yang dikeluarkan para ulama memang dipahat untuk merespon tantangan zamannya waktu itu. Misalnya, fatwa tentang rokok. Dulu mayoritas ulama menganggap aktivitas merokok suatu hal yang mubah, sekarang hukum tersebut berubah menjadi haram.
Basri mengakui adanya perbedaan fatwa seputar rokok ini. Umat Islam di Thailand Selatan, misalnya, menganggap bahwa merokok itu tidak masuk kategori haram malah sebuah keharusan (wajib). Hal ini merujuk pada kitab Mathla’ Al-Badrain wa Majma’ Al-Bahrain yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Ismail Daud Al-Fathani. Akan tetapi, Basri menerangkan bahwa merokok yang dimaksud dalam kitab tersebut adalah rokok dengan menggunakan daun nipah tanpa ada lintingan tembakau.
“Fatwa yang dikeluarkan dalam kitab tersebut berusia 300 tahun yang sesuai dengan konteks sosial zamannya. Pada masa itu juga tidak ada kemudharatan yang ditimbulkan dari aktivitas merokok. Namun, aktivitas merokok saat ini telah berubah sehingga berubah pula status hukumnya yaitu jadi haram,” kata penyandang pertama Kursi Jamalullail ini.
Karenanya, pesan yang ingin disampaikan Basri adalah ‘taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal atauperubahan hukum terjadi karena perubahan waktu, tempat, dan situasi. Para mujtahid tak lebih dari agen sejarah yang bekerja dalam lingkup situasionalnya, sehingga tak mudah untuk keluar dari konteks yang mereka hadapi. Karenanya, pandangan para ulama klasik tidak bisa diimpor begitu saja ke ruang dan waktu yang berlainan.
berita lain tentang Perlis https://muhammadiyah.or.id/penjelasan-tentang-makna-islam-rahmat-untuk-semesta-alam/