Dalam bulan suci Ramadan, ketaatan umat Muslim diuji melalui puasa siang hari sebagai salah satu rukun Islam. Namun, dalam beberapa kasus kontroversial, senggama suami-istri di siang hari dapat membatalkan puasa, mengundang kewajiban penggantian, dan memberikan kifarah yang sesuai.
Menurut fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, hubungan suami-istri yang melibatkan hubungan intim di siang hari saat berpuasa Ramadan dapat mengakibatkan pembatalan puasa. Hal ini berdasarkan pada prinsip dasar bahwa puasa adalah kewajiban menjauhi makan, minum, dan aktivitas seksual selama periode siang hari.
Konsekuensi atas pelanggaran ini adalah adanya kewajiban mengganti puasa yang batal di luar bulan Ramadan. Selain itu, individu yang melakukan pelanggaran tersebut juga dikenai kifarah, yang dapat diwujudkan melalui tiga pilihan. Pertama, memerdekakan seorang budak jika dimungkinkan. Kedua, jika tidak mampu memerdekakan budak, pelaku diwajibkan untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan ketiga, jika keduanya tidak dapat dilakukan, maka diharuskan memberi makan 60 orang miskin, dengan setiap orang menerima satu mud makanan pokok.
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Saw: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Ketika kami sedang duduk di hadapan Nabi saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki, lalu berkata: Hai Rasulullah, celakalah aku. Beliau berkata: Apa yang menimpamu? Ia berkata: Aku mengumpuli istriku di bulan Ramadhan sedang aku berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw: Apakah engkau dapat menemukan budak yang engkau merdekakan? Ia menjawab: Tidak. Nabi bersabda: Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak. Nabi bersabda: Mampukah engkau memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak. Abu Hurairah berkata: Orang itu berdiam di hadapan Nabi saw. Ketika kami dalam situasi yang demikian, ada seseorang yang memberikan sekeranjang kurma (keranjang adalah takaran), Nabi saw bertanya: Di mana orang yang bertanya tadi? Orang itu menyahut: Aku (di sini). Maka bersabdalah beliau: Ambillah ini dan sedekahkanlah. Ia berkata: Apakah aku sedekahkan kepada orang yang lebih miskin daripada aku, hai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada di antara kedua benteng-kedua bukit hitam kota Madinah ini keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku. Maka tertawalah Rasulullah saw hingga nampak gigi taringnya, kemudian bersabda: Berikanlah makanan itu kepada keluargamu.” [HR. al-Bukhari].
Hadis di atas menggambarkan kedalaman pemahaman Nabi saw terhadap kondisi individu dan kemampuan mereka. Selain itu, respons beliau menunjukkan rasa belas kasihan dan keinginan untuk membantu individu yang berada dalam kesulitan.
Dengan demikian, penekanan pada pemahaman yang benar tentang hukum agama dan penghargaan terhadap kekhususan bulan Ramadan tetap menjadi fokus utama dalam menghadapi situasi yang sensitif ini.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan, (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015).