MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Umat Islam memiliki panduan yang lebih dari cukup di dalam Alquran dan Sunnah untuk menghadapi berbagai dinamika hidup hingga musibah yang berat sekalipun. Sayangnya, berbagai panduan itu tidak cukup dipahami oleh banyak umat muslim.
Membuka forum Musypimwil III Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu (18/9) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mencontohkan fenomena ini dalam masa pandemi. Misalnya banyaknya penolakan terhadap fatwa-fatwa dan tuntunan Majelis Tarjih selama menghadapi pandemi.
Menyaksikan fenomena tersebut, Haedar menyayangkan karena justru orang-orang sekuler seperti Albert Camus hingga Steven Pinker lebih kuat rasa empati dan kemanusiaannya dalam menghadapi musibah.
Haedar lalu mengungkapkan bacaannya terhadap novel karya Albert Camus berjudul La Peste tahun 1947 yang mengisahkan keadaan yang sama terkait pandemi. Dua kelompok manusia muncul, yaitu mereka yang pasrah total tak berikhtiar, atau mereka yang menentang sains dan memberontak pada keadaan dan aturan terkait pandemi.
“Saya pikir seorang yang sekular sekalipun ketika akal budinya hidup, dia mampu membaca fenomena musibah itu dengan cara yang seperti Albert Camus lakukan, apalagi kita sebagai kaum beriman,” kritik Haedar.
Kritik ini disampaikan Haedar sebab dalam musibah yang seberat apapun, kaum muslimin menurutnya tidak sepantasnya gagap apalagi bertindak yang sama sekali kehilangan unsur hikmah (irfani). Umat muslim menurutnya wajib menghadapi musibah dengan iman, ikhtiar, tawakal, kesabaran dengan pendekatan keilmuan yang telah didorong oleh Alquran.
“Bagi kita kaum beriman, apapun sebab dan wasilahnya dalam sebuah musibah, ketika itu terjadi maka sumber nilai atau nilai subtansif yang kita kedepankan adalah iman, mujahadah dan kesungguhan,” kata Haedar mengutip ayat ke-11 Surat At-Taghabun dan ayat ke-31 Surat Muhammad.
“Intinya bahwa iman, kesungguhan dan kesabaran adalah kunci kita menghadpai musibah seberat apapun agar selain kita membuka pintu langit dan pintu bumi untuk keluar jalan dari musibah ini, sekaligus juga mengunci keruhaniyan dan akal budi kita agar tetap dalam koridor sebagai kaum beriman,” imbuhnya.
“Ketika wahyu pertama Iqra, saya kira itu adalah modal utama bagi kaum muslimin untuk menjadi kunci satu-satunya dalam membuka cakrawala hidup di mana akal budi yang diberikan Allah termasuk ruhani itu bersinergi, menyatu dengan alam pikiran yang di dalamnya tentu merupakan fitrah Allah yang harus kita rawat. Tapi Allah juga menurunkan fitrah yang lain yang disebut dengan fitrah al munazalah yaitu kitab suci. Maka perpaduan kitab suci dengan akal budi dan hati, itu merupakan kekuatan kita untuk menghadapi kehidupan sesulit apapun, sedinamis apapun, atau seberat apapun,” tegasnya.