MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – “Hidup itu berjuang” demikian kata Kasman Singodimedjo. Prinsip itu dipegangnya erat-erat sejak belia sampai tutup usia.
Kasman Singodimedjo adalah pahlawan nasional dan tokoh Muhammadiyah. Gelar Pahlawan Nasional disematkan tahun 2018. Setelah perjuangan panjang oleh tim pengusul diketuai oleh almarhum A.M Fatwa sejak tahun 2012. Menurut Anhar Gonggong, Yudi Latief, dan Mahfud MD gelar pahlawan tersebut adalah bukti keteladanan, kenegarawanan dan patriotisme Kasman.
Berjuang Sejak Belia
Kasman Singodimedjo lahir pada 25 Februari 1904 di Bagelen Purworejo. Bagelen, tempat di mana Kasman lahir adalah basis perjuangan Panglima Diponegoro, WR Supratman, Oerip Sumohardjo, Ahmad Yani dan Sarwo Edhie.
Nama Singodimedjo sendiri diberikan setelah ayahnya, Haji Singodimedjo wafat ketika ibadah haji di Mekkah. Kasman berharap penyematan nama itu sebagai bentuk bakti kepada orangtua, demikian dicatat olehnya sendiri dalam Masalah Kedaulatan (1977).
Menginjak usia 16 tahun, Kasman belajar kepada Kiai Ahmad Dahlan. Tiga tahun berikutnya pada tahun 1923, Kasman mulai melibatkan diri secara rutin dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah.
Perjuangan Kasman dimulai ketika menyusul adiknya belajar di sekolah Kristen Hollanda Indische School (HIS) di Kwitang Batavia. Di sana, Kasman mulai belajar Islam dan cara berorganisasi melalui pengajian Muhammadiyah Cabang Betawi di Gang Kenari dan Kramat yang dipimpin oleh Haji Hidayatullah dan Kartosoedharmo.
Akan tetapi karena tak ingin bersaing dengan adiknya di HIS Kwitang, Kasman memutuskan kembali ke Purworejo seorang diri dan pindah ke HIS Kutoarjo, yang kemudian dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang.
Dalam masa setahun perantauannya di Magelang, Kasman mengisahkan dalam Masalah Kedaulatan (1977) bahwa dirinya bertahan hidup dan menyelesaikan studinya dengan cara yang memprihatinkan.
Kasman menggunakan ijazah HIS Kutoarjo untuk mendapatkan izin tempat menginap dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga dari satu ambtenaar (pegawai negeri) ke ambtenaar lainnya, sebelum akhirnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga pengawai topografi bernama Tuan Suradi.
Si Mister Nasionalis Islami Tulen
Tahun 1924, Kasman mulai mempraktekkan kemampuan organisasinya sejak kembali ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan di sekolah dokter School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA). Di tempat inilah Kasman berkenalan dengan tokoh nasional dan bergabung bersama Jong Java.
Kasman juga berkenalan dengan tokoh pergerakan nasional seperti Cokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Syurkati atas perantara MULO ketika dia menjadi guru di AMS, Muallimin, Muallimat, MULO dan HIK yang semuanya bernaung di bawah Muhammadiyah Jakarta.
Ketika aspirasi Kasman untuk mengakomodasi Islam tidak tersalurkan dalam Jong Java, pada 1925 Kasman mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Selain mendekatkan kaum terpelajar dengan rakyat, JIB berusaha menumbuhkan simpati rasa simpati terhadap agama Islam dan toleransi pada pemeluk agama lain.
Setelah melibatkan JIB dalam Kongres Pemuda II yang kemudian hari melahirkan Sumpah Pemuda 1928, Kasman akhirnya menjabat sebagai Ketua Umum JIB dua tahun berikutnya pada 1930-1935.
Kedalaman pengaruh Kasman dalam pergerakan pemuda nasional, membuat beasiswa pendidikan tingginya di STOVIA (sebelum berubah menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran, Geneeskundige Hooge School) dicabut. Pencabutan beasiswa itu membuat Kasman bekerja keras untuk membiayai keluarga dan tiga orang adik perempuannya. Dengan segala keterbatasan, pada 1939 Kasman berhasil meraih gelar Ahli Hukum atau Mr (Meester in de Rechten) dari sekolah tinggi hukum Rechts Hooge School.
Mempersiapkan dan Mempertahankan Kemerdekaan
Masa pendudukan Jepang, Kasman dipilih menjadi Komandan (Daidancho) Tentara Pembela Tanah Air (PETA) Daidan I Jakarta dengan tugas memimpin sebanyak 500 pasukan, suatu jabatan tertinggi bagi orang Indonesia di dalam kemiliteran Jepang.
Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2006) mencatat bahwa menjelang kemerdekaan RI, Kasman dilibatkan Soekarno untuk mewakili umat Islam dalam rapat anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pagi hari dalam 17 Agustus 1945, Kasman kembali memegang kendali sebagai militer untuk mengamankan jalannya upacara pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI. Cobaan paling berat, justru terjadi sehari pasca proklamasi.
Adanya protes dari kaum Kristiani di Indonesia Timur yang mengancam akan melepaskan diri dari Indonesia jika tujuh kata di Piagam Jakarta tak dihapus membuat Soekarno, Hatta dan tokoh lain tak bisa berbuat banyak selain berharap pada Kasman Singodimedjo.
Kasman yang didorong oleh para proklamator pun berupaya membujuk Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh kunci Piagam Jakarta agar umat Islam mau untuk mengalah lagi kesekian kalinya.
“Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?”, “Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang, tenteram, diridhai Allah swt,” demikian ucap Kasman dengan bahasa Jawa halus sebagaimana dicatat oleh Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014).
Jasa-jasa besar lain seorang Kasman teruji tiga tahun pasca proklamasi. Gencarnya pemberontakan PKI bersama masa Agresi Militer Belanda II membuat Kasman bergerilya dengan berjalan kaki lebih dari 1.000 km untuk memberi semangat tentara Indonesia sembari menghindari kejaran PKI dan Belanda.
Terlepasnya Kasman dari kejaran mereka, menurut Kasman semata-mata karena pertolongan Allah, demikian dicatat dalam Ensiklopedi Islam Jilid 2 (1993).
Selain peran-peran di atas, Kasman tercatat pernah menjadi Menteri Muda Kehakiman atau Jaksa Agung pertama RI dalam Kabinet Amir Syarifuddin II, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan cikal bakal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang, ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR), Kepala Kehakiman Militer dan Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal Mayor.
Berulangkali Menjadi Tahanan Politik
Sepanjang hidupnya, Kasman Singodimedjo merasakan empat kali jeruji besi atas kasus politik. Satu kali di masa Belanda dan tiga kali di masa pemerintahan kader Muhammadiyah lain yakni Soekarno.
Jeruji besi pertama terjadi setelah Kasman meneriakkan kalimat “Untuk Indonesia Merdeka!” di ujung pidato dalam Konferensi Muhammadiyah se-Jawa Barat di Bogor, Mei tahun 1940.
Akibatnya, polisi rahasia Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst) menciduk Kasman dengan dalih Staat van Oorlog en Beleg atau keadaan darurat dan perang wilayah Hindia Belanda yang menjadikannya dibui selama 4 bulan di penjara Buitenzorg (Bogor).
Setelah Indonesia merdeka, keterlibatan Masyumi dalam PRRI/Permesta mengakibatkan tokoh-tokohnya, termasuk Kasman ditangkap.
Bersama Hamka, Moh. Roem, Mochtar Lubis, Prawoto dan Anak Gede Agung, Kasman di antara tahun 1962/1963 dihukum 8 tahun penjara atas tuduhan subversif yang oleh kemudian oleh Moh. Roem dalam Bunga Rampai Dari Sedjarah III (1983) tuduhan itu tidak pernah terbukti.
Tak pernah dendam, Kasman sebagaimana Hamka tetap menghargai Sukarno sebagai pemimpin besar dan turut mengantar kepergian Sukarno ke peristirahatan terakhirnya di Blitar pada Juni 1970, demikian dicatat oleh A.M Fatwa dalam Hidup itu Berjuang (1982).
Berbakti di Muhammadiyah
“Sejak saat itu, saya belum pernah absen di dalam Muhammadiyah, bahkan dari anggota biasa telah meningkat menjadi guru sampai propagandis Muhammadiyah, kemudian meningkat lagi menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Betawi sampai menjadi anggota Pusat Pimpinan Muhammadiyah sampai bertahun-tahun, saya juga pernah masuk dalam tahanan penjara Hindia Belanda sampai berbulan-bulan di Bogor karena saya ingin berjuang demi membela cita-cita Muhammadiyah.”
Demikian tulis Kasman dalam Masalah Kedaulatan (1977) semenjak dirinya masuk menjadi anggota Muhammadiyah secara resmi pada tahun 1949.
Di Muhammadiyah, Kasman pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Jakarta sekaligus Koordinator Muhammadiyah Wilayah Jakarta, Bogor dan Banten pada tahun 1968. Di tingkat Pimpinan Pusat, Kasman menjadi salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah kantor Jakarta dalam tiga periode.
Sebelum wafat pada tahun 1982, penyesalan terbesar seorang Kasman adalah tidak terwujudnya janji yang dia jaminkan kepada Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo saat merayunya mau menghapus tujuh kata Piagam Jakarta.
Soekarno sendiri menjanjikan akan mengakomodir kembali tujuh kata itu dalam sidang MPR pada Februari 1946. Hingga Ki Bagus wafat pada 4 November 1954, janji tersebut belum terwujud meski Kasman menagih secara keras pada Sidang Konstituante 2 Desember 1957, termasuk hingga wafatnya Soekarno pada tahun 1970.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ucap Kasman sambil menangis di depan anggota Muhammadiyah Lukman Harun, demikian dicatat oleh Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014).
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan AS