MUHAMMADIYAH.ID, SURAKARTA – Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian dunia pendidikan tinggi Indonesia dihadapkan dengan praktek nir-integritas dari plagiarisme hingga transaksi gelar honoris causa.
Di tengah masifnya praktek nir-integritas itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir bersyukur Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) tidak terseret arus dan tetap mempertahankan nilai luhur integritas dan meritokrasi.
Hal itu disampaikannya dalam seremoni pengukuhan Prof. Dr. Drs. Waston, M.Hum sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Agama dan Filsafat Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (3/4).
“Tentu ini merupakan satu capaian yang sangat penting bagi Prof Waston dan UMS sehingaga Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh tanah air menambah jumlah yang punya kepangkatan tertinggi Guru Besar dengan usaha yang dilakukan dengan cara yang tersistem, mengikuti peraturan dan koridor yang berlaku sebagai perjalanan meritokrasi yang selalu dikedepankan oleh Muhammadiyah,” syukurnya.
Dikukuhkannya Prof. Waston sebagai guru besar ke-24 UMS menurut Haedar adalah bukti bahwa Perguruan Tinggi Muhammadiyah semakin memperhatikan kualitas akademik sekaligus konsisten mentaati pedoman pemberian gelar akademik di dalam undang-undang.
“Kita tahu bahwa untuk menjadi guru besar sekarang ini otomatis di dalamnya ada gelar akademik. Mungkin berbeda di masa lalu ada profesor tapi tidak selalu harus Doktor,” terang Haedar.
“Tapi setelah Permenpan tahun 2013, salah satu syarat penting meraih profesor adalah dia bergelar Doktor, S3 atau sederajat bahkan ada syarat lainnya yakni berpengalaman mengajar tidak kurang dari 10 tahun. Jadi kalau setelah 2013 apalagi di tahun-tahun belakangan ada Doktor honoris causa tetapi dapat gelar profesor, tetapi saya tidak tahu profesor itu ada honoris causa atau tidak, tentu itu tidak sesuai dengan peraturan,” kritiknya.
Haedar meminta segenap PTM terus menebarkan semangat integritas ini untuk tetap berjuang dengan cara yang objektif, rasional dan mengandalkan aspek meritokrasi (kepakaran).
“Maka kita memelopori bahwa bangsa dan negara ini bisa tegak menjadi bangsa yang maju dan sejajar, bisa bersaing dengan negara lain ketika kita bisa mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas, objektivitas, dan meritokrasi yang itu bisa membawa pada kemajuan dan keselamatan Indonesia,” pesannya.