MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Kasus kekerasan seksual kian marak terjadi di berbagai penjuru Indonesia. Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban. Dengan kata lain, kasus ini sama sekali tidak melihat siapapun korbannya. Laki-laki maupun perempuan, atau orang tua maupun anak-anak, dapat menjadi korban dari kekerasan sekesual.
Alimatul Qibtiyah dalam diskusi yang diselenggarakan UIN Raden Intan Lampung pada Senin (25/01) menerangkan bahwa ada sembilan jenis kekerasan seksual, di antaranya: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan sekusal, dan penyiksaan seksual.
Di antara motivasi yang membuat seseorang melakukan kekerasan meliputi balas dendam, cemburu, agenda politik, kemarahan, agenda ideologi, hasrat seksual, kebutuhan keuangan, dan menjaga status sosial.
Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di dunia riil tetapi juga terjadi di dunia digital. Alim menerangkan beberapa upaya pencegahan agar tidak menjadi korban kekerasan seksual dalam dunia digital, di antaranya: tidak menyimpan video/foto pribadi di gadget, tidak terbujuk oleh pasangan untuk melakukan konten pronografi, pendidikan dan kurikulum literasi digital yang diperdalam serta diperkaya.
“Jejak digital negatif itu lebih kejam daripada catatan malaikat Roqib dan Atid. Jejak negatif di dunia digital itu tidak ada ampun. Walaupun kelihatannya sudah terhapus padahal samasekali belum terhapus,” tutur anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Komnas Perempuan ini.
Alim menyimpulkan paparannya bahwa persoalan yang belakangan ini menjamur di perguruan tinggi membutuhkan perhatian serius. Ia mengajak kepada seluruh elemen masyarakat agar menciptakan zero toleransi kekerasan, mendorong focal point yang mempunyai keberanian mengkritisi budaya yang sexist.