Oleh: Ilham Ibrahim
Salat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam agama Islam. Sebagai amalan inti, waktu salat diterangkan melalui teks-teks al-Quran dan al-Hadis. Peredaran semu matahari baik saat terbit, berkulminasi, dan tenggelam menjadi penanda awal dan akhir waktu salat. Setiap peralihan waktu salat terjadi bersama perubahan alam yang dapat diukur dan diamati melalui perubahan warna langit dan bayangan suatu obyek.
Kecuali salat subuh, keempat awal waktu salat lainnya relatif mudah dikenali hanya dengan mengamati peredaran matahari. Isyarat-isyarat umum yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 187 menyebutkan bahwa awal waktu salat subuh saat adanya benang putih (khait al-abyad) setelah munculnya benang hitam (khait al-aswad). Awal waktu salat subuh terbilang sulit lantaran adanya polusi cahaya dan udara yang menyebabkan tertutupnya cahaya fajar di bagian timur.
Dalam praktiknya, penetuan awal waktu salat secara umum bersifat lokalitas tergantung data geografis. Yogyakarta dan Medan, misalnya, akan memiliki jadwal salat tersendiri karena keduanya memiliki data lintang dan bujur yang berbeda. Jadwal salat di dua kota ini hanya berlaku secara lokal. Yang menyamakan waktu salat antara Yogyakarta dan Bandung bukan kesimpulan jamnya, melainkan ketinggian matahari atau dip bagian timur di bawah ufuk.
Dalam penentuan jadwal salat, apalagi salat subuh, data astronomi terpenting adalah posisi matahari di sebelah timur dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit. Menurut Oman Fathurrahman, pakar Falak Muhammadiyah, pengukuran matahari dengan acuan koordinat horizon maupun ekuator selalu merujuk pada titik pusat matahari. Sejak lama Indonesia menetapkan dip atau ketinggian matahari berada di titik -20 derajat.
Waktu Subuh Menurut Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) sebagai lembaga keagamaan dalam Muhammadiyah mendapatkan berbagai masukan agar meninjau kembali waktu subuh. Akhirnya, dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 tahun 2010, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar, di antaranya Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Pusat Studi Astronomi (Pastron) Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA).
Ketiga lembaga astronomi perguruan tinggi Muhammadiyah tersebut menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) yang diarahkan ke zenit untuk mengkuantisasi perubahan tingkat kecerahan langit. ISRN UHAMKA selain menggunakan SQM juga memakai kamera DSLR, kamera All-Sky, kamera smartphone, dan kamera drone. Pengamatan langit oleh ketiga lembaga astronomi ini dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Pada akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa rata-rata ketinggian matahari tidak berada di titik -20 derajat.
Pada akhirnya, Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 tahun 2020 memutuskan bahwa ketinggian matahari berada di -18 derajat. Pandangan ini diperkuat dengan mayoritas ahli astronomi muslim klasik sejauh yang bisa diakses Majelis Tarjih. Begitu pula hasil riset yang dilakukan Mohd Zambri Zainuddin dkk dari Malaysia menyimpulkan hal yang serupa. Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu subuh pada ketinggian matahari -18 derajat seperti, Turki, Inggris, Perancis, Australia, Nigeria, dan Malaysia.
Persoalan Ijtihadi
Perubahan awal waktu salat Subuh merupakan persoalan ijtihadi. Walau teks al-Quran dan al-Sunah telah memberikan suatu petunjuk, akan tetapi terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dan ahli astronomi terkait anggitan awal waktu Subuh. Akan diberi nilai satu kebaikan apabila hasil ijtihadnya keliru, dan diberi nilai dua kebaikan apabila hasil ijtihadnya benar. Muhammadiyah menyadari bahwa aspek ijtihadi merupakan kreasi nalar manusia, ekspresi keragaman yang partikular, dan refleksi terhadap realitas.
Karenanya keputusan Muhammadiyah ini terbuka untuk diuji kembali. Hal ini sejalan dengan paradigma Manhaj Tarjih yang selalu terbuka dengan kritik dan toleran dengan pandangan yang berbeda. Di samping itu, keputusan Muhammadiyah juga bukan dalam misi menegasikan hasil keputusan ijtihad yang lain. Sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: al-ijtihadu layunqadlu bil-ijtihad (sebuah ijtihad itu tidak membatalkan ijtihad yang lain).
Selain itu, perubahan awal waktu Subuh dari -20 derajat ke -18 derajat (tambah 8 menit) ditinjau dari aspek sosiologis tidak terlalu mengejutkan masyarakat. Hal ini lantaran tidak mengubah pokok ibadah mahdlah, bukan aspek qath’i dalam hukum Islam, dan perubahannya pun berlandaskan argumen syar’iyyah, ‘ilmiyyah, dan wasathiyyah.
Maksudnya, pelaksanaan salat subuh tepat di waktu subuh memang aspek mahdlah dan qath’I—tidak sah salat subuh bila dilakukan di siang atau sore hari. Akan tetapi, terkait dengan kriteria ketinggian matahari di bawah ufuk bagian timur merupakan aspek ijtihadi. Lagi pula, perubahan dari dari -20 derajat ke -18 derajat diperkuat teks al-Quran, Hadis, pandangan ulama, ahli astronomi, dan observasi langsung di lapangan.
Selain itu, perubahan waktu Subuh ini bukan sekadar hitung-hitungan astronomis belaka, melainkan suatu ijtihad yang memiliki signifikansi, relevansi, dan urgensi dalam kehidupan manusia. Dengan adanya perubahan ini, Muhammadiyah berijtihad untuk menetapkan awal waktu ibadah secara lebih akurat sejauh yang bisa dilakukan. Hal ini karena ibadah yang dilakukan tidak tepat pada waktunya, dapat berisiko pada sah atau tidaknya ibadah tersebut.
Editor: Fauzan AS
Hits: 321