Ilham Ibrahim
Toleransi merupakan nilai-nilai dasar dalam agama Islam. Surat al-Baqarah ayat 256 dan surat al-An’am ayat 108 dengan tegas agar setiap muslim menghargai keyakinan yang berbeda. Demikian pula dengan masyarakat profetik Madinah pada masa Rasulullah Saw. Bila para sejarawan sering memuji-muji Magna Charta sebagai dokumen fundamental peletakan HAM di dunia, maka umat Islam pada abad keenam telah memiliki Piagam Madinah. Pada zamannya, Piagam Madinah telah melakukan lompatan kuantum terhadap praktik yang sarat dengan tribalisme Arab Jahiliyyah.
Siapa saja yang melakukan kriminal pada suatu kelompok maka dialah musuh bersama, tegas Rasulullah dalam hadis riwayat Abu Dawud. Sebagaimana Rasulullah dalam Piagam Madinah, Umar bin Khattab saat sukses membebaskan Jerussalem juga menerbitkan al-Uhdah al-Umariyah yang memuat jaminan kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Aelia (sebutan lain untuk Jerussalem). Tidak berlebihan bila ditegaskan bahwa toleransi sudah menjadi tradisi Rasulullah dan para salaf salih umat ini sejak awal.
Perilaku Nabi dan para Sahabat seperti Umar yang menghargai keragaman telah menjadi laku aktivitas eksistensial KH. Ahmad Dahlan secara nyata. Dahlan bukanlah seorang figur ulama yang gemar berteori apalagi berdebat kusir yang hanya berujung pada permusuhan. Toleransi baginya tidak akan bermakna ketika tidak berbuah amal. Mungkin karena pandangan ini pula yang membuat beliau tidak sempat menumpahkan isi pikirannya dalam sebuah karya tulis, lantaran dirinya terlalu sibuk memperluas areal pelayanan sosial di tempat-tempat paling udik sekalipun.
Al-Quran dan Al-Sunah serta pengalaman hidup KH. Ahmad Dahlan menginspirasi Muhammadiyah untuk menyusun Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua sebagai Keputusan Muktamar ke-46 di Yogyakarta tahun 2010. Dalam pernyataan tersebut ditegaskan bahwa “Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan, dan membangun pranata sosial yang utama”.
Selain itu, dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar disebutkan pula bahwa ukhuwah insaniyah sebagaimana terkandung dalam al Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 menjunjung tinggi kemanusiaan universal tanpa memandang latar belakang etnis, agama dan unsur primordial lainnya sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Berdasarkan keterangan ini toleransi dalam Muhammadiyah dimaknai sebagai ukhuwah insaniyah.
Dalam Muhammadiyah, ukhuwah insaniyah bukan hanya slogan, melainkan juga sudah menjadi kepribadian warga persyarikatan secara otentik. Semua struktur Muhammadiyah yang hidup di bawah atap Persyarikatan mengejawantahkan slogan ini di dalam bentuk kepribadian. Karena telah menjadi kepribadian yang melekat, Muhammadiyah merawat ukhuwah tidak hanya sebatas kepada non-muslim tetapi juga terhadap sesama muslim.
Toleransi Lintas Agama
Ketika sebagian kelompok Islam banyak berteori dan berdebat tentang hakekat dan batas-batas toleransi antar umat beragama, Muhammadiyah telah jauh melangkah dari debat itu sejak era KH. Ahmad Dahlan. Sikap toleransi antar umat beragama yang dilakukan Muhammadiyah tidak terfokus pada hal-hal yang bersifat narsistik, seperti memakai topi Sinterklas atau ikut-ikutan merayakan natal di gereja. Dalam alam pikiran Muhammadiyah, membangun pelayanan sosial merupakan toleransi yang paling nyata, berkelas, dan tidak berbelit-belit.
Moda toleransi yang dibangun oleh Muhammadiyah bertumpu pada teologi amal. Teologi amal ini memiliki preseden yang sangat kuat dalam kisah KH. Ahmad Dahlan mengajarkan QS. al-Maun yang masyhur itu. Daripada fokus ke hal-hal yang simbolik semata, hal-hal yang kulit dan malah jatuhnya kontroversial, lebih baik fokus ke amal yang berdampak nyata. Maka Muhammadiyah bekerjasama dengan anak bangsa non-Muslim untuk membangun kapasitas pendidikan dan kesehatan di berbagai sudut Nusantara.
Praktik Toleransi di SMK Muhammadiyah Serui
SMK Muhammadiyah Serui yang berlokasi di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, misalnya, merupakan sekolah dengan mayoritas siswanya beragama Kristen. Di sekolah Muhammadiyah itu, pelajaran Agama Kristen tetap menjadi mata pelajaran wajib bagi segenap siswa-siswinya. Pengampunya bukan mantan misionaris yang kemudian jadi ustaz, melainkan murni seorang ahli dari kalangan agama mereka.
SMK Muhammadiyah Serui hanya satu contoh bagaimana Muhammadiyah memberikan porsi hak beragama secara penuh, benar-benar dalam tataran tindakan dan aksi nyata. Namun dengan rendah hati, Muhammadiyah nyaris tak pernah narsis sebagai kelompok Islam yang paling toleran.
Akan tetapi, jika sudah dapat toleran dengan agama lain, apakah Muhammadiyah juga toleran terhadap sesama umat Islam? Di manakah posisi Muhammadiyah?
Toleransi Lintas Kelompok Islam
Sebagian umat Islam sekarang dapat dengan mudah bergandengan tangan dengan non-muslim sebagai saudara kemanusiaan, namun kadang sulit mengakurkan diri sebagai saudara seiman. Satu kelompok sering dengan mudah membidahkan praktik keagamaan kelompok Islam yang lain. Dan satu kelompok Islam lagi sering menghindari penggunaan kata “kafir” sebab tak sedap di telinga, tapi gampang sekali memanggil sesama muslim sebagai radikal, intoleran, bahkan teroris.
Dalam Muhammadiyah, kalau kita merujuk pada fatwa-fatwa yang dihasilkan Majelis Tarjih, akan sangat jarang kita menemui kata-kata yang provokatif dan tendensius. Ungkapan tersebut seperti seperti “azab bagi mereka yang mengajarkan…”, “kelompok ahli bidah yang sesat”, atau “radikal-ekstremis merongrong NKRI!”. Hal tersebut karena Muhammadiyah paham bahwa fatwa merupakan titik temu antara idealitas hukum dengan realitas sosial. Sehingga dalam teknis penyampaian fatwa harus diselaraskan dengan kondisi emosi masyarakat agar mereka dapat membaca sebuah fatwa dengan rasa nyaman, tenang, dan solutif.
Hal di atas dibuktikan dengan fakta bahwa Muhammadiyah secara organisasi tidak pernah melarang atau membubarkan sebuah pengajian dengan alasan kegiatan tersebut ada unsur-unsur bid’ah atau radikal. Akan tetapi memang perlu dengan jeli membedakan antara sikap Muhammadiyah sebagai organisasi dan Muhammadiyah dalam tataran pemahaman keagamaan masyarakatnya. Muhammadiyah merupakan organisasi yang tertib dalam administrasi, maka ketika ada yang melenceng dari nilai-nilai persyarikatan terutama semangat ajaran Islam, itu merupakan pengecualian.
Secara organisasi Muhammadiyah terbukti tidak pernah melakukan diskrimasi terhadap Ormas lain, bahkan yang ada selalu menjalin kerjasama untuk kebaikan Indonesia. Menjalin kerjasama dengan Nahdlatul Ulama dalam misi penyebaran paham wasathiyyah Islam. Menjalin kerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan sejumlah koalisi masyarakat sipil untuk menolak pengesahan RUU Pertanahan. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan Muhammadiyah sebagai sikap nyata menghargai lintas kelompok Islam.
Tapi Muhammadiyah juga tidak menutup mata dengan sebagian warganya yang kadang berbeda bahkan melenceng dengan sikap resmi organisasi. Dalam dinamika organisasi, apalagi perkumpulan yang memiliki jumlah pengikut begitu banyak, tentu hal tersebut dapatlah dikatakan wajar. Kewajaran yang tentu saja akan dievaluasi secara internal organisasi.
Editor: Fauzan AS