Diskursus mengenai konsep matlak telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kajian fikih. Pembahasan mengenai matlak tidak hanya terbatas pada perhitungan hisab dan rukyatul hilal, namun juga berkaitan erat dengan penentuan awal puasa dan hari raya dalam agama Islam.
Pembahasan mengenai matlak, pada umumnya, merujuk pada hadis-hadis yang berkaitan dengan rukyat, dengan fokus pada perbedaan hasil rukyat antara Muawiyah di Syam dan Ibn Abbas di Madinah, seperti yang dijelaskan dalam hadis Kuraib. Seiring berjalannya waktu, pembahasan mengenai matlak terus berkembang dengan mengakomodasi dinamika, praktik, dan implementasinya di berbagai wilayah yang dihuni oleh umat Islam.
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar mencatat bahwa dalam literatur fikih, matlak global (ittihad al-mathali’) cenderung menjadi pendapat dominan para fukaha, meskipun dalam praktiknya, matlak lokal (ikhtilaf al-mathali’) yang lebih umum dipraktikkan. Hal ini dapat dimaklumi oleh adanya kendala dalam menerapkan matlak global pada masa itu, seperti keterbatasan fasilitas dan sarana komunikasi yang memadai untuk memastikan ketepatan informasi. Namun, kondisi tersebut berbeda dengan masa kini, di mana teknologi telah memungkinkan penerapan matlak global dengan lebih mudah.
Arwin mengutip Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu” (Fikih Islam dan Argumennya) yang secara komprehensif merinci pendapat dan argumen fukaha dari empat mazhab mengenai matlak. Menurutnya, kutip Arwin, tiga mazhab (Hanafi, Maliki, Hanbali) secara kuat mendukung konsep matlak global, sementara mazhab Syafi’i lebih condong kepada pendekatan matlak lokal.
Selain itu, pandangan khusus juga dikemukakan oleh kalangan Hanafiyah terkait dengan matlak lokal dan rukyat siang hari sebelum maupun sesudah zawal. Mereka memandang bahwa hal tersebut tidak dapat dijadikan standar atau panduan yang mengikat. Ini merupakan pandangan yang dipegang oleh mazhab Hanafi dan menjadi fatwa yang umum diterima oleh para ulama (masyayikh) dalam mazhab ini.
Menurut kalangan Hanafiyah, ketika rukyat di belahan barat telah berhasil, maka penduduk di belahan dunia bagian timur dapat mengikuti dan menggunakan hasil rukyat dari penduduk di belahan dunia barat tersebut. Namun, hal ini harus didasarkan pada ketetapan bahwa rukyat atau keterlihatan hilalnya telah ditetapkan dengan akurat (bi thariq mujab).
Pendapat yang hampir sama juga diemukakan oleh kalangan Malikiyah. Menurut mereka, apabila hilal terlihat, maka puasa wajib diterapkan secara menyeluruh di semua negeri, baik yang berdekatan maupun yang jauh. Dalam hal ini, tidak ada pertimbangan terkait jarak kasar seperti dalam salat, dan juga tidak ada konsep matlak yang diperhitungkan. Kewajiban puasa berlaku bagi semua umat Islam yang menerima informasi bahwa hilal telah terlihat di suatu tempat.
Pendapat dari kalangan Malikiyah ini menekankan pentingnya kesatuan dalam pelaksanaan ibadah puasa, di mana penetapan awal bulan Ramadan tidak terkait dengan pertimbangan jarak atau wilayah geografis. Hal ini menunjukkan variasi pandangan di antara mazhab-mazhab fikih dalam Islam, yang tercermin dalam pendekatan mereka terhadap masalah-masalah praktis dalam agama.
Selain itu, kalangan Hanabilah juga memiliki pandangan serupa terkait dengan penentuan awal bulan Ramadan. Menurut mereka, apabila hilal telah terlihat secara definitif di suatu tempat, baik itu dekat atau jauh, maka semua umat Islam wajib berpuasa. Dalam hal ini, hukum yang berlaku bagi orang yang tidak melihat hilal dianggap sama dengan hukum bagi orang yang melihatnya, sesuai dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan, “puasalah kalian karena melihatnya,” yang ditujukan kepada seluruh umat Islam.
Dalam mazhab Syafi’i, pandangan cenderung mengarah pada pemahaman bahwa hadis-hadis mengenai rukyat terbatas atau bersifat lokal. Menurut mazhab ini, ketika hilal sudah terlihat di suatu negeri, hukumnya hanya mengikat bagi negeri-negeri yang berdekatan, tidak berlaku bagi negeri yang jauh. Dalam hal ini, terdapat perbedaan dalam konsep matlak, yang merupakan pandangan sahih dalam mazhab Syafi’i.
Dari ringkasan pandangan fukaha empat mazhab tentang matlak, terlihat bahwa kecenderungan fukaha pada masa lampau lebih condong pada konsep matlak global, bukan matlak lokal. Pandangan ini mencerminkan sikap progresif mereka terhadap unifikasi waktu-waktu ibadah dalam Islam, yang seharusnya seragam di seluruh dunia.
Posisi Muhammadiyah
Posisi Muhammadiyah dalam konteks ini sangat jelas: mereka menganut pandangan matlak global. Dalam upaya mewujudkan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT), Muhammadiyah memegang teguh prinsip ini. Mereka percaya bahwa matlak global adalah kunci utama dalam penerapan Kalender Hijriyah Global Tunggal.
Matlak global mengacu pada konsep bahwa ketika hilal terlihat di suatu tempat, maka di tempat lain dianggap telah terlihat juga. Dengan kata lain, ketika awal bulan Islam ditentukan di suatu wilayah, maka wilayah lainnya dianggap mengikuti penentuan tersebut. Dengan adanya prinsip matlak global ini, umat Islam dapat menyusun kalender dengan konsep kesatuan hari atau prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia.
Pandangan ini menunjukkan komitmen Muhammadiyah dalam mencari solusi untuk menyatukan umat Islam dalam penggunaan kalender hijriyah yang seragam, mengingat pentingnya kesatuan dalam praktik-praktik keagamaan. Dengan demikian, Muhammadiyah memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam upaya mencapai konsistensi dan kesatuan dalam pelaksanaan ibadah dan perayaan agama di seluruh dunia Islam.
Referensi:
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, “Matlak Menurut Fukaha”, dalam Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, https://oif.umsu.ac.id/2024/03/matlak-menurut-fukaha/, diakses pada Selasa, 23 April 2024.