MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA—Al Qur’an ketika dipahami itu tidak pernah sempurna, karena akan bercampur dengan pikiran. Karenanya ada tafsir yang mengantarkan manusia untuk memahami Al Qur’an, namun tafsir adalah pemahaman atas Al Qur’an yang menjadikannya nisbi bukan mutlak.
“Al Qur’an yang mutlak itu belum masuk pemikiran manusia, tapi kalau sudah ada pikiran, sudah ada pemahaman, sudah ada diterjemah. Maka itu sudah menjadi Al Qur’an yang bercampur dengan pemikiran,” urai Prof. Alyasa’ Abubakar dalam Seminar Nasional Sesi II Munas Tarjih Muhammadiyah XXXI pada Ahad (13/12).
Menyampaikan materi tentang moderasi keberagamaan dalam konteks Indonesia Berkemajuan perspektif Hukum Islam, prof. Alyasa’ menyebut, Al Qur’an murni sekurangnya memiliki tujuh ciri. Antara lain murni ilahi, kebenarannya absolut, tunggal, abadi, universal, tidak tematis, dan cenderung masih bersifat umum.
Sedangkan tafsir juga memiliki sekurangnya tujuh ciri, yang berbeda dengan ciri Al Qur’an. Antara lain, terdapat campuran antara wahyu dengan pikiran manusia, kebenarannya relatif, berbilang, terikat waktu (temporal), terkait tempat (lokal), tematis dan sistematis, serta cenderung sudah rinci dan praktis.
Muhammadiyah Tidak Bermazhab
Sementara terkait dengan model beripikir mazhabiah, ia menjelaskan tidak bisa langsung mengambil rujukan secara langsung ke Al Qur’an dan Hadis. Melainkan harus sesuai urutan dalam pengambilan hukum, melalui mazhab, sahabat, dan ijma’, jika belum ditemukan diantara urutan tersebut baru merujuk langsung ke Al Qur’an dan Hadis.
“Muhammadiyah mengubah cara berfikir ini, tidak lagi terikat dengan mazhab, tidak merasa lagi terikat dengan sahabat, dan sampai batas tertentu juga tidak terikat dengan ijma’ ini.” tuturnya
Prof. Alyasa’ menekankan, tajdid pada bidang fikih yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukan karena menganggap pendapat mazhab itu salah, melainkan kurang sesuai karena tidak bisa memenuhi keperluan masa sekarang. Meski demikian, tajdid bukan berarti memaksakan pemahaman atas Al Qur’an dan Hadis sesuai dengan keadaan sekarang (temporal).
“Kalau kita sebut tajdid atau pembaharuan itu ada dua sisi, pertama memperbaharui pemahaman atas Al Qur’an dan Sunnah, yang kedua mengubah adat dan kebudyaan kita agar sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah,” imbuhnya.
Pemahaman Islam dalam paradigm Tajdidiah, dapat dicirikan dasar metodenya akademik ilmiah, memakai lughawiah, ta’liliah, dan istislahian yang masih masuk dalam epistimologi burhani. Paradigm tajdidiah juga memiliki orientasi masa sekarang dan masa depan. Kemudian fikih yang dihasilkan bersifat padu, sistematis, dan menyeluruh.
Terkait dengan hubungannya dengan ilmu, tajdid cenderung menerima dan memanfaatkannya secara maksimal. Dalam melihat realitas yang terjadi saat ini, tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah menelaah dengan pengetahuan ilmiah dan tidak mengembalikan persoalan tersebut ke masa lampau, atau melihat realitas dengan tidak berbasis akademik.
“Logika yang dipakai juga dikembangkan, bisa juga deduktif, induktif. Bahkan saya merasa Muhammadiyah menerima statistic sebagai fakta, dan menerima matematik sebagai metode. Sehingga ada keputusan yang dibuat berdasarkan angka-angka statistic berdasarkan perhitungan matematik, bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat hayali,” tandasnya.
Hits: 745