MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Dalam menentukan suatu hukum, Manhaj Tarjih Muhammadiyahn menggunakan dua metode, yaitu: metode asumsi integralistik dan metode asumsi hierarkis. Menurut Syamsul Anwar, metode asumsi integralistik merupakan kumpulan dalil-dalil baik yang berkaitan langsung maupun yang tidak langsung tentang suatu persoalan kemudian dikoroborasikan.
“Artinya semua bahan-bahan syariah itu digunakan secara sekaligus secara bersama-sama. Tidak boleh dapat satu ayat Quran lalu diamalkan. Misalnya ada ayat tentang kewajiban kurban tapi ayat tentang mengasihi fakir miskin tidak diperhatikan, ini namanya tidak integralistik,” ungkap Syamsul dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (29/06).
Sedangkan metode asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berlapis dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Syamsul menerangkan apabila lapisan norma tersebut dilihat dari atas ke bawah maka lapisan norma pertama ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), kemudian prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), dan lapisan paling bawah ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) merupakan pokok-pokok universal ajaran Islam. Syamsul menerangkan bahwa al-qiyam al-asasyyah atau nilai-nilai dasar tersusun dalam tiga kategori, yaitu: nilai dasar teologis (al-qiyam al-‘aqidah/al-ilahiyyah) seperti tauhid, nilai dasar moral (al-qiyam al-khuluqiyyah) seperti keadilan, dan nilai dasar yuridis (al-qiyam al-syar’iyyah) seperti kemaslahatan.
Sedangkan prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah) merupakan turunan dari nilai dasar dan abstraksi dari lapisan norma di bawahnya. Peran prinsip-prinsip umum ini, kata Syamsul, juga sebagai jembatan yang menghubungkan nilai dasar dan ketentuan praktis. Sementara ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah) merupakan norma-norma konkret yang memuat hukum taklifi (halal-haram) dan wad’i (syarat-sebab).
Syamsul kemudian memberikan contoh sederhana penggunaan metode asumsi hirarkis ini, misalnya: nilai dasar kemaslahatan, diturunkan ke prinsip umum bahwa al-masyaqqatu tajlib al-taisir atau kesulitan membawa pada kemudahan, maka norma praktisnya adalah kebolehan berbuka puasa bagi orang yang berada dalam perjalanan atau sakit.
“Inilah hirarki norma. Jadi dalam berijtihad kita tidak langsung al-ahkam al-far’iyyah seperti halal, haram, sebab, makruh, syarat, dan lain-lain, tapi kita harus memerhatikan juga asas-asas dan nilai-nilai dasar,” tutur Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.