MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDA ACEH—Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berusaha mengembangkan kategori hukum syara` menjadi tiga tingkat. Tingkatan pertama yang paling abstrak, berisi nilai (al-qiyam alasasiyyah), sebagai fondasi yang melandasi prinsip-prinsip atau asas-asas umum. Tingkatan kedua yang kurang abstrak berisi prinsip-prinsip (al-ushul al-kulliyyah), sebagai landasan bagi ketentuan konkret yang mendetail. Tingkatan ketiga yang paling konkret merupakan hukum syara` (al-ahkam al-far`iyyah).
Penggunaan tiga tingkatan norma di atas menjadikan definisi fikih dalam perspektif Tarjih berubah, menjadi: himpunan nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), asas-asas (al-ushul al-kulliyyah) di samping ketentuan-ketentuan detil agama yang mengatur kehidupan umat dan hubungan-hubungan yang ada di dalamnya, baik hubungan horizontal (sesama manusia dan dengan alam) maupun hubungan vertikal (hubungan kepada Sang Khalik) (al-ahkam al-far`iyyah).
Berdasarkan definisi fikih dari Majelis Tarjih di atas, Muhammadiyah (MTT) melalui Musyawarah Nasional Tarjih dan telah ditanfidzkan oleh PP Muhammadiyah, telah melahirkan beberapa karya. Karya-karya tersebut di antaranya: Fikih Tata Kelola; Tuntunan Seni Budaya; Beberapa Masalah Ibadat dan Muamalat; Pedoman Hisab Muhammadiyah; Fikih Air: Perspektif Muhammadiyah; Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah; Tuntunan Manasik Haji; Tuntunan Salat Lima waktu; Fikih Kebencanaan; dan lain-lain.
Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PW Aceh Al Yasa’ Abubakar, dengan adanya definisi fikih di atas, Muhammadiyah terlihat berusaha memahami Al-Qur’an dan sunnah menurut cara atau model pemahaman tajdidiah (pembaharuan), memanfaatkan pengetahuan ilmiah, mempertimbangkan budaya dan kearifan lokal, dan tetap berakar pada khazanah pemikiran Islam yang dihasilkan para ulama sepanjang sejarah.
“Muhammadiyah nampaknya ingin berusaha menjadikan warganya berakidah, beramal ibadah dan beramal usaha, berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah mengikuti semangat dan kemajuan zaman,” terang Al Yasa’ dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (15/06).
Al Yasa’ juga turut menerangkan bahwa dalam masalah ibadah Muhammadiyah sudah merumuskan beberapa prinsip. Misalnya, ibadah harus berdasar dalil yang sah, mengakui dan menerima adanya keragaman pelaksanaan ibadah—sekiranya ada dalil yang memenuhi syarat. Selain itu, kewajiban untuk mengerjakan ibadah selalu dalam batas kemampuan seseorang, sehingga kalau terlalu berat maka akan ada keringanan sebagai jalan keluarnya.
Hits: 1113