MUHAMMADIYAH.ID, MAGELANG– Dalam frasa Bahasa Arab, petani disebut dengan istilah al fallah. Dalam pengertian sederhana al fallah juga bermakna kemuliaan, kemenangan, atau kesejahteraan secara materil dan spirituil. Pada periode Ottoman, istilah Fellahin sebagai sebutan untuk para petani begitu populer.
Menurut Tafsir, Ketua Piimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jawa Tengah (PWM Jateng), posisi petani dalam agama Islam diistilahkan sebagai manusia yang mulia dan sejahtera. Bumi tetap survive selama ini jika mampu mempertahankan kehijauannya. Fungsi penghijauan bumi diantaranya adalah diperankan oleh para petani.
“Saat ini permasalahan kita adalah bagaimana cara mempertahankan hijaunya bumi. Maka petani adalah pahlawan, karena manusia membutuhkan hijaunya bumi.” kata Tafsir pada (6/11) disela acara Focus Group Discussion (FGD) Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA).
Dalam konteks masyarakat petani Indonesia, khususnya jawa, mereka membutuhkan pendekatan dakwah secara khusus. Dakwah kepada kelompok petani tidak bisa dilakukan hanya secara deduktif, melainkan juga induktif. Karena dakwah tidak melalu urusan teks, dan materi yang transferkan, melainkan juga harus memahami konteks yang akan didakwahi.
Dakwah untuk Orang Jawa
Bagi Tafsir, metode dakwah untuk orang jawa tidak bisa dilepaskan kaitannya dari dua hal yakni musik dan makan. Ia beralasan, musik dan makan merupakan unsur atau konsepsi yang rekat dengan budaya kumpul masyarakat petani jawa. Simbol musik dan makan tercermin dalam kesehariannya, dengan memahami konsepsi dan simbol dalam lokalitas suatu masyarakat, dakwah bisa dilakukan tanpa menimbulkan konflik.
“Tidak bisa langsung mengatakan kullu bid’atin dholalah, itu bisa menimbulkan ambhyar sebelum didakwahi. Karena berdakwah itu bukan menghakimi, apalagi men’dengkul’, tapi dakwah dilaksanakan untuk merangkul.” katanya
Dari tinjauan antropologis, ihwal petani melakukan ‘Slametan’ adalah ungkapan syukur dan wasilah untuk minta tolong kepada yang prima causa atas penyakit kepada tanaman mereka. Terlebih bagi masyarakat jawa yang tidak bisa dilepaskan dari konsepsi dan simbol, maka ungkapan syukur dan berdoa seiring diekspresikan dalam bentuk-bentuk ritual dan jenis-jenis makanan.
Karena realitas yang dihadapi begitu kompleks, Tafsir berpesan kepada da’I atau mubaligh Muhammadiyah dalam melakukan aktivitas dakwah tidak dengan mudah melakukan penghakiman. Dakwah harus ditempuh dengan jalan-jalan damai, hangat, menggembirakan, dan memajukan sehingga perlu menemukan metode dakwah yang pas.
Konsepsi simbol yang diekspresikan dalam bentuk budaya dan sudah tertanam di bawah alam sadar pada suatu masayrakat atau bangsa membutuhkan waktu untuk yang panjang untuk memperbaikinya. Karena habitus masyarakat akan erat kaitannnya dengan lokalitas yang ditempati. Maka metode dakwah harus unik, dan tidak bisa bersifat tunggal.
“Di masyarakat jawa, kalau mengumpulkan orang tidak bisa dijauhkan dari dua hal, yakni musik dan makan. Materi dakwah tidak bisa diserap oleh masyarakat kalau mereka dalam keadaan lapar, dan dalam keadaan sedih. Maka berdakwah harus mengembirakan.” tambahnya.
Dakwah untuk Petani
Masyarakat, terutama petani merupakan kelompok masyarakat yang memiliki budaya ‘Slametan’ paling banyak. Karena realitas yang melingkupi masyarakat petani tidak tunggal, maka selain memahami teks wahyu yang akan disampaikan, mubaligh Muhammadiyah dalam berdakwah menurut Tafsir harus memahami budaya, bangsa, dan lokalitas obyek dakwah (mad’u).
Kembali pada frasa al fallah untuk meyebut petani, yang secara idealita harusnya petani itu bahagia dan sejahtera, namun fakta dilapangan menunjukkan nasib petani di negeri ini tidak seindah frasanya. Mereka tertindas, baik secara cultural, maupun struktural.
Keberadaannya sebagai soko guru ekonomi negeri, kesejahteraan petani jauh panggang dari api. Maka, Muhammadiyah yang memiliki semangat penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) harus hadir paling depan sebagai solusi atas persoalan yang mendera petani. ‘Penugasan’ kepada Muhammadiyah kala hadirnya ditengah realitas masyarakat adalah untuk menginterpretasikan ‘bahasa langit’, Al Qur’an dan Sunnah Rasul supaya tetap berpijak pada ‘dinamika bumi’.
Hits: 78