MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Sejak tahun 2005, Majelis Tarjih menggunakan terma ‘fikih’ dibanding istilah lain untuk menggambarkan tuntunan Islam dalam suatu amalan. Misalnya, Wacana Fiqh Perempuan, Fikih Tata Kelola, Fikih Kebencanaan, Fikih Perlindungan Anak, dan lain-lain.
“Mengapa Muhammadiyah tidak menggunakan istilah ‘teologi’, jadi ‘Teologi Tata Kelola’ atau ‘Teologi Kebencanaan’, misalnya, yang lebih keren, terkesan berbobot, dan terkesan ilmiah? mengapa juga tidak dengan istilah yang sekalian bombastis seperti ‘Sunnah Pengelolaan Air’, ‘Sunnah Perlindungan Anak’?” tanya Niki Alma Febriana Fauzi dalam diskusi online dengan tema Fikih Informasi pada Selasa (03/02).
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menjelaskan bahwa terma ‘fikih’ adalah istilah yang lekat di hati masyarakat, membumi, dan cenderung tidak ‘garang’.
Karenanya, fikih dalam Muhammadiyah dimaknai sebagai totalitas terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang. Jenjang norma tersebut meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
“Fikih Muhammadiyah yang menggunakan metode asumsi integralistik dan metode asumsi hirarkis baru diperkenalkan dan digunakan pada tahun 2010 dengan lahirnya Fikih Tata Kelola. Kemudian metode ini juga digunakan pada Fikih Air (2014), Fikih Kebencanaan (2005) dan sampai sekarang yang nanti akan lahir Fikih Difabel dan Fikih Agraria,” terang Alma.
Dosen Universitas Ahmad Dahlan ini mengungkapkan bahwa pilihan terma (istilah) ‘Fikih’ yang dilakukan Majelis Tarjih membawa pemahaman baru yang sebelumnya dimaknai secara sempit. Term ‘fikih’ di Muhammadiyah tidak lagi berkutat pada diskusi panas soal halal-haram, namun menjadi seperangkat pedoman dan tuntunan yang dihiasi dengan nilai-nilai filosofis dan ketentuan praktis.