MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Setelah pandemi menghantam menjadi wabah global, sekian aspek yang telah mapan di dalam kehidupan mau tak mau harus berubah. Sistem interaksi pun tidak dapat dilakukan sama dan apa adanya sebagaimana masa sebelum pandemi.
Pembiasaan pada tatanan dan sistem baru inilah yang disebut sebagai New Normal atau Kenormalan baru. Padahal, istilah New Normal sebetulnya adalah lebih dikenal dalam bidang ekonomi yang merujuk kepada berbagai penyesuaian atas kondisi baru setelah terjadinya krisis global.
Dalam kaitannya dengan pandemik Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan bahwa New Normal dapat dilakukan jika sebuah negara terbukti telah mampu mengendalikan persebaran kasus penularan. Namun pemerintah Indonesia menetapkan New Normal pada saat kondisi persebaran virus belum sepenuhnya mampu terkendali. Atas pertimbangan ancaman krisis ekonomi, pada Mei 2020 Pemerintah memutuskan untuk segera memberlakukan New Normal untuk 102 daerah dengan ketentuan yang diklaim telah sesuai dengan persyaratan WHO.
Kaji Ulang New Normal
Pada 28 Mei 2020 Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Surat Edaran bernomor 002/Per/I.0/I/2020 yang meminta agar Pemerintah mengkaji secara seksama dengan penjelasan yang obyektif dan transparan. Delapan bulan pasca keputusan New Normal tersebut, Indonesia justru terus memecahkan rekor pertambahan kasus penularan.
Dalam forum webinar Muinshow Madrasah Muallimin Jogja, Ahad (24/1) Arif Jamali Muis Wakil Ketua Bidang Penguatan Tanggap Darurat dan Pemulihan Jaringan Persyarikatan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) mengatakan bahwa keputusan Indonesia melakukan New Normal adalah keputusan yang gegabah.
“MCCC mempertanyakan New Normal-nya pemerintah dan menyampaikan itu salah. Tapi sekarang sudah terlambat” ujar Arif. “Kita gagal di New Normal. Ada syaratnya, tetapi kita gagal, kita tidak punya syarat itu, ini Indonesia by pass (jalan pintas) lalu New Normal. Karena ini memang rekayasa supaya kita ingin cepat, tetapi tidak mempertimbangkan resikonya,” ungkapnya.
Selain tidak tepat Arif Jamali menilai keputusan Pemerintah tidak saintifik. Membawa data pakar teknologi digital Ismail Fahmi dalam tulisan wartawan kebencanaan Kompas Ahmad Arif pada 3 Juni 2020, Arif Jamali menyampaikan bahwa pemerintah memaksakan dilakukannya New Normal melalui narasi di media sosial. “Ismail Fahmi dari Drone Emprit menunjukkan Indonesia paling bersemangat menyuarakan ini (New Normal) di Twitter. Periode 16-27 Mei 2020, istilah New Normal disebutkan 86.569 kali di Indonesia, disusul Amerika 11.073, Inggris 8.039, dan India 3.836,” tuturnya.
Uniknya, Arif Jamali menyampaikan bahwa gaung menyuarakan melalui hastag #NewNormal dan #TataKehidupanBaru muncul dari akun yang berasosiasi dengan kepolisian atau pendukung pemerintah yang sebagian besar dicuitkan oleh bot atau mesin.
“Jadi akhirnya ya ini, kita bypass, tanpa ada syarat, lalu kemudian New Normal, apa yang terjadi? Tidak ada perubahan apapun. Masyarakat sekarang abai, penanganan juga tidak serius, dan bapak ibu mau diperpanjang berkali-kali pun PSBB se-Jawa berkali-kali pun kalau tidak ada penanganan yang serius ya kita akan gini terus,” tegasnya.
Masyarakat Cenderung Meremehkan Covid-19
Akibat kesimpangsiuran kebijakan pemerintah, Arif melihat bahwa masyarakat kini lebih banyak yang tidak takut dengan Covid-19, sementara kasus besar. Fenomena tersebut berbeda dengan masa awal Covid-19 di mana kasus kecil tapi ketakutan masyarakat besar.
“Apa yang terjadi dengan New Normal yang ditarik ke depan ketika kasus sedang tinggi-tingginya, ya kaya Indonesia negara plus 62 ini, ekonomi tidak tumbuh dengan baik, tapi kasus juga semakin tinggi,” tuturnya.
Bagi warga Muhammadiyah, Arif berpesan agar selain tetap taat pada protokol kesehatan, pemahaman sesuai Manhaj Tarjih digunakan dalam menghadapi pandemi. Yaitu berfikir dengan pendekatan dalil, ilmu pengetahuan dan hikmah.
Warga Persyarikatan diharapkan agar tidak mengendorkan kewaspadaan terhadap Covid-19. Sementara itu, semua Amal Usaha Muhammadiyah harus dipikirkan untuk memikirkan jauh ke depan sesuai perubahan tata kehidupan akibat pandemi.
Lembaga pendidikan, institusi, bisnis dan orang yang telah memikirkan kesiapan sekaligus mengantisipasi perubahan adalah pihak yang paling potensial kelak dipilih dan menjadi pemenang. “Tapi kalau lembaga pendidikan, pesantren, Amal Usaha masih berangan-angan dan berfikir kaya normal dulu tentu akan tertinggal,” jelasnya. (afn)
Editor: Fauzan AS
Hits: 471