Fauzan Anwar Sandiah
Tujuan berdirinya Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Apa sesungguhnya maksud dari frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”? Bagaimana asal muasal terbentuknya formulasi frasa tersebut? Apa saja upaya untuk memaknai frasa ini di level diskursus? Apa implikasinya bagi aktivis, warga, dan jamaah Muhammadiyah serta masyarakat luas, bahkan dalam konteks umat global?
Diskursus tentang rumusan konsep dan frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” memiliki jejak yang sangat panjang di Muhammadiyah. Ulama, cendekia, dan pemikir di Muhammadiyah telah mencurahkan berbagai upaya untuk menjelaskan konsep dan frasa yang sangat populer di kalangan aktivis, warga, dan jamaah Muhammadiyah ini.
Asal Usul dan Perkembangan Frasa
Formulasi frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” secara resmi dirumuskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1946. Menurut Haedar Nashir (2009), meski baru dicantumkan belakangan, frasa ini berakar dari statuen Muhammadiyah (Anggaran Dasar) tahun 1914.
Frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” diformulasikan dari rumusan maksud Persyarikatan yakni: “(a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland,” dan “(b) memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada ‘memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.”
Masih berdasarkan analisis Nashir, genealogi atau latar historis perumusan frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dapat dibedakan berdasarkan konteks internal dan eksternal. Secara internal, misi Muhammadiyah sejak awal berdiri sebagai gerakan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid adalah memajukan kehidupan pengajaran dan pelajaran agama Islam. Maka, sudah jelas tujuan utamanya berkenaan dengan transformasi kehidupan masyarakat ke arah yang lebih maju.
Ketika KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, kekuasaan kolonial Belanda sebagai representasi masyarakat Barat sangat unggul di berbagai sektor. Terutama di bidang ekonomi, birokrasi, infrastruktur, budaya dan teknologi. KH. Ahmad Dahlan melihat ada keterkaitan antara kejumudan dalam pemikiran keagamaan dan kondisi ketertinggalan masyarakat bumiputra. Di sinilah, “pengajaran dan pelajaran Igama” itu dimaksudkan menjadi sarana transformasi sosial. Bagi KH. Ahmad Dahlan, agama harus menjadi inspirasi yang hidup dan mencerahkan, tidak terbatas pada ruang batin spiritual, tapi juga kehidupan sehari-hari.
Maka, menjadi “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” terkait dengan kembali menemukan Islam sebagai referensi hidup yang berkemajuan sehingga dapat keluar dari ketertinggalan peradaban. Visi besar semacam inilah yang secara internal terus menerus menjadi pegangan bagi da’I dan mubaligh Muhammadiyah untuk memajukan “pengajaran dan pelajaran Igama” ke seluruh penjuru negeri.
Sedangkan faktor ekternal menurut penjelasan Nashir terkait dengan keperluan untuk sistematisasi pemikiran keagamaan dan beradaptasi dengan situasi sosial-politik yang sedang berlangsung. Setelah era kemerdekaan, Muhammadiyah merasa perlu untuk merumuskan kesadaran baru tentang cita-cita kemasyarakatan. Nashir mengatakan bahwa frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” menjadi formulasi ideologis bagi Muhammadiyah setelah era baru peralihan kekuasaan politik dari dominasi kolonial Belanda ke masyarakat bumiputra.
Rumusan frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” kemudian terus menerus mendapatkan kontekstualisasinya seiring dengan perkembangan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi pasca kemerdekaan pada 1945. Oleh karena itu, rumusan-rumusan ideologi Muhammadiyah setelah frasa “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” juga semakin sistematis dan memerlukan proses penarasian lebih lanjut. Misalnya muncul rumusan-rumusan seperti frasa “mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur” pada 1985.
Menurut Nashir, rumusan-rumusan ideologi Muhammadiyah tidak mungkin tidak terkait dengan perkembangan sosial-politik pada setiap masanya. Sebab, dalam kasus ini misalnya, konsep “masyarakat Islam” itu sendiri tidak mungkin dianggap tidak berada dalam ruang kontestasi wacana yang lebih luas. Berbagai faktor eksternal sudah jelas turut serta mendorong Muhammadiyah untuk mensistematisasi rumusan-rumusan ideologisnya dalam berbagai situasi.
Hits: 3626