MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Islam memaknai bahwa hijrah selalu terkait dengan dua hal lainnya, yakni keimanan dan jihad (perjuangan). Kitab suci Alquran menjelaskannya pada ayat ke-218 Surat Al-Baqarah.
“Jadi hijrah itu juga ada korelasi dengan jihad. Jadi hijrah, jihad dan iman adalah tiga dimensi yang sangat substansial dalam hal perjalanan secara Islam. Dan akhirnya perjalanan Jihad Nabi yang panjang, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya itu menghasilkan Madinah al Munawarah, bangunan peradaban yang cerah-mencerahkan, yang dari situ Islam kemudian menyinari dunia,” tutur Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir.
Membuka Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertajuk “Spirit Hijrah Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan Indonesia,” Jumat (13/8) Haedar menyebut bahwa hijrah menyimpan proses takhrij (liberasi), takhrir (memerdekakan), dan tanwir (mencerahkan) sekaligus.
Konteks itu menurutnya juga terjadi dalam perjalanan kaum muslimin dalam memperjuangkan kemerdekaan dan dalam usaha-usaha mempertahankannya. Sehingga perilaku mempertentangkan antara Islam dan kebangsaan menurutnya adalah tindakan tidak bertanggungjawab.
“Di negeri kita juga hijrah dan jihad terwujud ketika kita kaum muslimin melawan penjajah cukup panjang dalam pergumulan yang begitu penuh dengan duka dan derita. Tetapi semangat kaum muslimin dan bangsa Indonesia untuk kemerdekaan tetap kokoh, kuat dan tidak pernah mati,” jelasnya.
Di antara kaum muslimin, Muhammadiyah merupakan salah satu pelopor yang menurutnya berjasa dalam menggerakkan kebangkitan nasional melalui semangat jihad dalam makna luas.
Menurut Haedar, bahkan Muhammadiyah pada masa itu memimpin rakyat berjihad mempertahankan kemerdekaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo melawan Agresi Belanda tahun 1946-1949 lewat Askar Perang Sabil Muhammadiyah.
“Artinya bahwa sejak perjuangan kemerdekaan bahkan pasca kemerdekaan kaum muslimin itu berada di satu nafas yang sama antara perjuangan Keislaman dan kebangsaan sehingga tidak ada kontradiksi antara keduanya,” kata Haedar.
Satu tarikan nafas antara semangat hijrah, iman dan jihad dalam konteks Keislaman dan Keindonesiaan ini menurut Haedar wajib terus dijaga dan direkonstruksi terus menerus.
“Nah tugas kita hari ini adalah bagaimana merajut kembali jiwa spirit atau nafas yang fundamental ini untuk aktualisassi baru di tengah kehidupan kekinian,” kata Haedar.
“Pertama ketika kita sekarang menghadapi musibah besar pandemi Covid-19 yang hari ini sudah tercatat 115 lebih koma sekian yang meninggal di negeri tercinta. Terkait Covid, belum yang terpapar, kemudian di tingkat dunia sudah 4,3 juta (meninggal). Ini problem kemanusiaan yang berat. Bagaimana kaum muslimin dengan spirit hijrah dan kemerdekaan juga menjadi uswah hasanah dalam pandemi ini. Kalau kita tidak bisa memberi solusi jangan menjadi beban dan justru menambah kontroversi,” pesannya.