MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA– Maraknya perilaku perundungan atau bullying, Ketua PP Nasyiatul Aisyiyah (NA), Diyah Puspitarini mengakui persoalan ini adalah masalah yang pelik dan butuh perhatian dari semua pihak.
Menurutnya, faktor penyebab terjadinya bullying antara lain dari internal keluarga, sekolah, kelompok sebaya, kondisi lingkungan sosial, dan tayangan televisi dan media lain.
“Kekerasan masa pandemi ini korbannya cukup meningkat, padahal kita ketahui masa pandemi ini tidak ada orang keluar. Lantas dari mana, kekerasan terjadi dari keluarga dan sebagian cyber bullying.” katanya pada (23/11) dalam acara Seminar Nasional Daring “Penanggulangan Perundungan : Masalah dan Solusi”.
Dalam siklus pelaku perundungan, Diyah menyebut korban bisa menjadi pelaku jika tidak segera diberikan rehabilitasi. Bahkan, pelaku mantan korban tersebut mengorganisir untuk melakukan perundungan kepada yang lain.
Memaparkan pengalamannya selama menjadi guru BK, Diyah menceritakan bahwa, seorang murid sebelum menjadi pelaku merupakan mantan korban perundungan. Kemudian setelah melakukan perundungan, pelaku tersebut merasa lebih tertantangan untuk melakukan perundungan yang lebih terorganisir.
Karenanya menurut Diyah tri pusat pendidikan harus lebih intens diintegrasikan, tidak dipisahkan antara sekolah, masyarakat dan keluarga. Lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak dan remaja.
Namun, fakta yang terjadi saat ini di lingkungan pendidikan tersebut malah menjadi sarang tempat terjadinya perundungan. Bahkan dalam kehidupan pendidikan di kampus menjadi tempat yang sangat memungkinkan terjadinya kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual ini tidak bisa kita remehkan, karena nanti akan berpengaruh dengan pembentukan karakter serta kualitas pendidikan di lembaga pendidikan tersebut.” imbuhnya.
Korban Didominasi Anak-anak
Saat ini, ungkap Diyah, korban perundungan di Indonesia didominasi oleh anak-anak, perempuan dan kelompok difabel. Karena tingkat pengetahuan yang rendah, kasus pelecehan terhadap kelompok difabel sering ‘luput’. Sebagai kelompok rentan, difabel menjadi obyek yang paling potensial untuk terjadinya tindak kekerasan.
Pada tahun 2020 menurut data KPAI, jumlah perundungan semakin meningkat tajam. Diyah menjelaskan, meningkatkan kasus perundungan sampai bulan septemer 2020 ini didominasi kekerasan dalam lingkungan keluarga.
Sehingga tri pusat pendidikan harus dimaksimalkan perannya untuk penanggulangan dampak perundungan. Dalam lingkungan keluarga harus diciptakan rasa harmonis, sehingga mencipatakan demokratisasi dalam keluarga.
Pembentukan Karakter
Sementara di sekolah bisa dibuat habituasi/pembiasaan pembentukan karakter anti perundungan. Serta dalam masyarakat harus dicipatakan lingkungan yang kondusif, dengan cara pelibatan struktural pejabat di yang berada di lingkungan tersebut.
“Saya kira kalau semua elemen ini berjalan dengan baik, saya yakin perundungan di Indonesia ini akan turun dan hilang dengan sendirinya.” kata Diyah
Melihat realitas demikian, Nasyiatul Aisyiyah ikut berperan dalam penangulangan perundungan melalui lima fase. Yakni melakukan penyadaran pihak dengan berbagai cara, pengumpulan informasi perundungan, advokasi, penyelesaian kasus, serta hasil dan tindak lanjut.
Selain itu, Nasyiatul Aisyiyah juga memberikan pelatihan paralegal di beberapa daerah. Diharapkan paralegal ini bisa melakukan advokasi bagi para korban perundungan. Maka, selain diberikan pelatihan tingak daerah dan wilayah, pelatihan paralegal kedepan juga akan diberikan sampai tingkat cabang/kecamatan.
Hits: 344