MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar di acara seminar internasional bersama Dato’ Arif Perkasa Dr. Mohd Asri Zainul Abidin (Dato’ MAZA), Kamis (2/3), Syamsul Anwar menyampaikan tentang fiqih dan manhaj dalam Muhammadiyah. Di Muhammadiyah dalam memahami fiqih ada metodenya atau yang sering disebut sebagai Manhaj Tarjih.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid ini menjelaskan, Agama Islam menurut definisi Majelis Tarjih adalah petunjuk-petunjuk, perintah-perintah, larangan-larangan yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah yang menjadi untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

“Di lingkungan Muhammadiyah keseluruhan ajaran islam ini dibagi empat bidang besar. Satu petunjuk yang diturunkan Allah terkait masalah Aqidah, yang kedua mashalah Akhlak, yang ketiga terkait mashalah ibadah, yang keempat terkait mashalah muamalat duniawiyah. Jadi ajaran agama islam itu secara keseluruhan ada 4 bidang.” Ungkapnya.
Namun dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah kebanyakan berorientasi pada dua yang terakhir, yaitu ibadah dan muamalat dalam arti luas. Dalam memproduksi suatu hukum, Muhammadiyah menggunakan Manhaj Tarjih sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat empat komponen.
“Komponen yang pertama itu wawasan atau perspektif, yang kedua komponen sumber, yang ketiga komponen pendekatan, dan yang keempat komponen metode teknis artinya prosedur teknis,” imbuhnya.
Manhaj Tarjih, kata Prof. Syamsul Anwar, bahwa sudut pandang Muhammadiyah dalam menghasilkan produk hukum pertama yaitu berdasarkan paham agama Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni. Meski dalam paham Sunni terdapat banyak mahzab, namun Muhammadiyah tidak terikat oleh salah satu mahzab fiqih saja. Tapi Muhammadiyah juga tidak anti mahzab.
Produk hukum yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, kata Syamsul Anwar, tidak menutup kemungkinan untuk ditinjau ulang secara keilmuan, bahkan oleh ulama dari luar Muhammadiyah. Hal ini karena Majelis Tarjih Muhammadiyah memiliki perspektif keterbukaan.
“Jadi kita terbuka mau dikritik oleh siapa saja. Dan bahkan dalam penerangan tentang tarjih itu ada pernyataan kami mengundang kepada seluruh ulama agar sudilah kiranya untuk meninjau ulang apa yang kami putuskan ini karena apa yang diputuskan itulah batas maksimal kemampuan untuk berijtihad saat itu.” Ungkapnya.
Syamsul menambahkan, bahwa Hadis Dhaif tidak sah menjadi sumber hukum. Namun apabila jalurnya banyak, satu sama lain saling menguatkan dan ada indikasi berasal dari Rasulullah dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah maka itu dapat dijadikan hujjah, khususnya dalam hal muamallat dunyawiyah itu banyak Hadis Dhaif yang mau tidak mau digunakan.
Hits: 416