MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Komunitas yang mengatasnamakan dirinya dengan Halaqah Muhammadiyah untuk Kajian Modernitas dan Tradisi (HIKMAT) menggelar kajian kitab putih pada Sabtu (21/01) malam. Format kajian ini mirip dengan sorogan kitab kuning ala pesantren, namun buku yang dibaca berbahasa Inggris yaitu Reforming Modernity. Isi buku yang ditulis Wael B. Hallaq ini secara keseluruhan membahas tentang kritik Taha Abdurrahman terhadap fenomena modernisme Barat.
Muhamad Rofiq Muzakkir selaku pengampu kajian ini menekankan pentingnya melihat fenomena dunia modern dari sudut pandang kritis. Sebagai fenomena yang lahir dari tragedi dan pengalaman Barat, modernisme seharusnya tidak diterima begitu saja ke bentangan dunia mana pun, khususnya dunia Islam. Buku karya Hallaq ini dipandang tepat sebagai bahan kajian karena cukup detail dan padat mengungkap sisi lain dari modernisme Barat sekaligus mengangkat urgensi tradisi Islam.
Pada bagian pembukaan, Hallaq mengenalkan sosok Taha Abdurrahman sebagai filsuf paling penting yang dihasilkan dunia Islam sejak kolonialisme Barat di Afro-Asia pada abad ke-19. Sejak tahun 1987 ada sekitar 20 buku yang telah ditulis Taha, sebagian besar karyanya berusaha menggali apa yang menjadi inti dalam Islam, yakni etika, dan dijadikan sebagai bahan bakar untuk mengkritik modernisme. Banyaknya karya Taha ini merupakan tantangan tersendiri bagi Hallaq untuk merangkainya menjadi gagasan yang holistik serta membawanya ke dalam diskursus dan percakapan intelektual di Barat.
Menurut Hallaq, Taha merupakan intelektual yang memiliki pemahaman mendalam baik tradisi Islam maupun modernisme Barat. Pengetahuannya tentang syariah dan sufisme dalam dunia Islam semendalam pemahamannya tentang pemikiran Neo-Platonis dan aliran Aristotelian yang ada di dunia Barat. Karenanya, membaca pemikiran Taha ini, diperlukan keakraban dengan ragam istilah yang lahir dari tradisi Islam dan modernitas Barat, agar terlepas dari pemahaman yang keliru.
Taha merupakan seorang cendekiawan yang gigih dalam membaca karya-karya intelektual Barat baik era Pencerahan maupun pasca-Pencerahan seperti Immanuel Kant, David Hume, Jurgen Habermas, Max Weber, Sigmund Freud, Paul Ricoeur, dan lain-lain. Hallaq melihat cara yang ditempuh Taha dalam mengkritik modernime Barat ini mirip dengan apa yang dilakukan Ibnu Taimiyah pada abad ke-14. Sebelum Syaikh al-Islam merobohkan bangunan logika Aristotelian, ia menjadi pembaca yang gigih terhadap karya-karya filsuf Yunani tersebut. Setelah paham konstruksi pemikiran Aristotelian, Ibnu Taimiyah langsung melancarkan kritiknya tanpa ampun.
Namun, sebelum membedah pemikiran Taha, Hallaq mengajak para pembaca untuk melihat lanskap sosio-historis yang melatarbelakangi lahirnya gagasan Taha. Sebagaimana pemikiran Michel Foucault atau Carl Schmitt tidak dapat diterima begitu saja sebagai fenomena khusus sejarah-intelektual, begitu pula dengan Taha. Gagasan Foucault tentang system of power dan Schmitt tentang state of exception lahir sebagai respon terhadap situasi dan kondisi di mana mereka hidup, begitu pula dengan Taha.
Dalam upaya memahami pemikiran Taha secara utuh, Hallaq mundur ke belakang melihat fenomena yang ada abad ke-19 di dunia Islam, khususnya Maroko, tempat di mana Taha dilahirkan. Pada saat itu ada dua fenomena besar, pertama kemunduran Islam. Jika bagi Orientalis, Islam mundur karena dianggap tidak mengukuti zaman yang telah dibentuk oleh Barat; namun dalam pandangan Hallaq justru sebaliknya: kemunduran Islam maksudnya ialah dunia Islam mulai meninggalkan tradisi epistemologi Islam seperti yang termaktub dalam kalam, sufisme, hikmah, dan malah mengikuti Barat.
Selain itu, fenomena yang kedua ialah lahirnya kekuatan baru berupa kolonialisme yang merekayasa dan mengubah lanskap budaya, epistemik, dan keilmuan Islam. Hallaq mencatat antara tahun 1826 dan 1923 menjadi saksi penghancuran struktural besar-besaran lembaga-lembaga Islam oleh kolonialisme Barat. Pada periode ini, semua struktur ekonomi, sosial, agama, dan hukum dihancurkan secara signifikan atau total. Keruntuhan ekonomi dan sosial ini tentu memiliki efek yang mendalam dan besar pada dunia Islam dan lembaga pendidikannya.
Taha sebagai pemikir kontemporer mengalami dua dilema di atas yaitu kemunduran Islam karena mengikuti Barat dan hadirnya kolonialisme Barat yang menghancurkan lembaga-lembaga Islam. Hal ini kemudian memicu lahirnya apa yang disebut Hallaq sebagai epistemic rupture atau keterputusan epistemik. Kehadiran kolonialisme Barat di dunia Islam menyebabkan robohnya bentuk-bentuk pengetahuan yang telah dikenal Islam selama dua belas abad sebelumnya (dari sekitar tahun 650 hingga 1850).
Dengan alasan ini, Rofiq kemudian mendorong kader muda Muhammadiyah agar lebih giat membuka khazanah turats. Kehadiran turats begitu penting sebab memiliki peran sebagai jembatan epistemik untuk menghubungkan antara diskursif masa lalu dan masa depan, dan kritik terhadap progress atau berkemajuan yang bias filsafat Barat.
Hits: 379